TEMPO.CO, Jakarta - Pada zaman kolonial sampai dengan awal kemerdekaan, Depok merupakan sebuah gemeente atau kawasan administratif yang dipimpin oleh seorang presiden. Presiden terakhir Depok adalah Johannes Matijs (JM) Jonathans yang memimpin dari 1949 hingga 1952. Jejak sejarah JM Jonathans ini bisa ditemukan di rumahnya di kawasan Depok Lama.
Rumah presiden terakhir Depok ini berada di antara banyak bangunan bersejarah peninggalan era kolonial di Jalan Pemuda, Pancoran Mas. Pada zaman dulu, jalan ini adalah pusat keramaian Kota Depok. Banyak bangunan penting seperti kantor pemerintahan, gereja, sekolah, bahkan bioskop berada di jalan ini. Di seberang rumah ini juga terdapat bangunan kolonial bekas Rumah Sakit Harapan, yang dulu disebut sebagai istana presiden Depok. Di halaman bangunan ini terdapat Tugu Cornelis Chastelein, pemilik lahan perkebunan depok pada zaman kolonial.
Tempo mengunjungi rumah itu bersama dengan rombongan walking tour Jakarta Good Guide pada Sabtu, 10 Agustus 2024. Rumah Jonathans tersembunyi di balik sebuah rumah makan, hanya pagar hitamnya yang terlihat dari jalanan.
"Rumah makan ini baru, dulu pertama kali ke sini belum ada," kata Dynasti Ara, pemandu Jakarta Good Guide yang memimpin waking tour ini.
Begitu memasuki pagar itu, terlihat sebuah rumah besar bergaya Belanda yang bercat putih dengan jendela-jendela kayu yang tinggi. Di bagian depannya terdapat sebuah pendopo dengan kursi tamu dari brsi serta sebuah lampu gantung di langit-langitnya. Di halamannya terdapat beberapa tanaman yang membuat rumah terlihat asri.
Sebagian barang yang dipajang di rumah presiden terakhir Depok Johannes Matijs Jonathans di Jalan Pemuda, Pancoran Mas, Depok. TEMPO/Mila Novita
Ditempati Cucu JM Jonathans
Yahya, cucu JM Jonathans, yang kini menempati rumah itu, menyambut di pendopo. Ia langsung mengajak rombongan memasuki sebuah ruangan seluas kamar tidur di sebelah pendopo yang berisi barang-barang peninggalan kakeknya. Ia megambil sebuah foto hitam putih berbingkai hitam yang memperlihatkan keluarga besar sang kakek.
"Foto ini diambil di ruangan ini, di jendela yang itu," kata dia menunjuk sisi tembok dengan bekas jendela yang kini sudah tertutup. "Semua barang-barangnya (JM Jonathans) saya simpan di ruangan ini karena tamu yang datang suka ingin melihatnya."
Di ruangan berwarna putih itu terdapat sebuah meja, lemari, rak pajangan berisi foto-foto dan suvenir keramik. Terdapat juga beberapa sertifikat dan potongan berita di koran yang sudah dibingkai.
Yahya bercerita bahwa rumah ini dibangun pada 1933. Banyak bangunan dari zaman kolonial kini diambil alih oleh Pemerintah Kota Depok, tapi sebagian bangunan dan fasilitas umum seperti lapangan, balai pertemuan, dan gereja dikelola bersama di bawah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein. Adapun milik pribadi, seperti rumah ini, tetap milik pribadi.
"Rumah ini sudah terkenal sebagai rumah presiden Depok, jadi banyak orang datang ke sini," kata dia.
Presiden Depok
Depok dipimpin oleh seorang presiden sejak 1913 hingga 1952. Presiden ini dipilih dari 12 marga yang dulunya merupakan pekerja di perkebunan milik tuan tanah penguasa Depok, Cornelis Chastelein. Mereka disebut Belanda Depok. Meski disebut sebagai Belanda Depok, kakek moyang mereka sebenarnya berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Bali, Sulawesi Selatan, Ambon, Minahasa, dan Flores. Oleh Chastelein, mereka diberi marga yakni Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh.
Merekalah yang memilih presiden Depok pada masa itu. Presiden pertama Depok, Gerrit Jonathans yang menjabat pada 1913, setelah itu Martinus Laurens menjabat pada 1921, Leonardus Leander mulai menjabat pada 1930.
Yahya mengatakan, masing-masing presiden itu punya rumah sendiri karena milik pribadi, bukan rumah dinas. Namun, saat ini baru rumah presiden Depok terakhir inilah yang diketahui publik. Presiden Depok dihapus setelah pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh tanah partikelir Depok, kecuali gereja, sekolah, balai pertemuan, dan lahan pemakaman.
Pilihan Editor: Depok Lama akan Ditata Jadi Kawasan Wisata Sejarah, Kerja Sama dengan Belanda