5. Dayak Punan
Suku yang satu ini berasal dari Kalimantan. Keberadaannya terbagi di beberapa wilayah, dua di antaranya berada di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar) dan Mahakam Hulu, Kalimantan Timur (Kaltim). Pada 2019, sub suku Dayak Punan di dua wilayah tersebut berhasil disatukan. Beberapa sub suku tersebut adalah Punan Uheng Kereho, Punan Hovongan, Bukat Kalbar dan Bukat, Seputan, dan Aoheng Kaltim.
Sebagai salah satu rumpun suku Dayak tertua, persebaran suku Dayak Punan di Kalimantan bisa dikatakan cukup signifikan. Istilah Punan sendiri merupakan sebutan umum untuk kelompok masyarakat pemburu dan peramu yang dulu hidup secara berpindah-pindah di hutan Kalimantan. Itu sebabnya, suku Dayak Punan sering disebut juga sebagai “penjaga hutan rimba”.
Salah satu keunikan suku Punan, khususnya suku Punan Batu, adalah mereka masih melestarikan bahasa lagu (Latala) yang tidak memiliki hubungan secara linguistik dengan bahasa lain di Kalimantan. Diwariskan secara turun-temurun, bahasa lagu suku Punan Batu memiliki beragam penggunaan nada, pengulangan kata atau frasa, dan penggunaan metafora. Isi dari bahasa lagu mereka umumnya menggambarkan pengetahuan dan kearifan lokal tetang alam, flora, fauna, hingga obat-obatan yang mereka miliki.
6. Korowai
Berasal dari daerah pedalaman Papua Pegunungan dan Papua Selatan, suku Korowai atau Koroway diketahui baru berinteraksi dengan dunia luar sekitar 3 dekade yang lalu. Hingga 2023, suku ini diketahui memiliki populasi sebanyak 3.000 orang sejak pertama kali ditemukan di pedalaman hutan Papua pada 1974.
Salah satu keunikan dari suku Korowai adalah rumah mereka yang tidak dibangun di atas tanah, melainkan di atas pohon. Tempat tinggal mereka biasa disebut dengan rumah xaim atau rumah tinggi yang dibangun 3 hingga 9 meter dari tanah di atas tonggak-tonggak dari pohon-pohon berukuran kecil sebagai fondasi. Meski begitu, ada pula jenis rumah xau yang dibangun hanya 1 meter dari permukaan tanah, namun jumlahnya tidak sebanyak rumah xaim.
Tujuan dari pembuatan rumah dengan model seperti itu adalah demi menghindari serangan binatang buas dan gangguan roh jahat yang biasa mereka sebut sebagai laleo. Bagi suku Korowai, istilah laleo juga berlaku untuk semua orang asing yang bukan bagian dari suku mereka.
Masyarakat suku Korowai hidup dari hasil berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Mereka menempati kawasan hutan sekitar 150 kilometer dari Laut Arafura.
7. Anak Dalam
Suku Anak Dalam juga dikenal sebagai suku Kubu adalah suku pedalaman yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Pulau Sumatra bagian tengah, tepatnya di Jambi. Pada 2022, diperkirakan jumlah populasi suku Anak Dalam ada sekitar 200.000 orang.
Istilah Kubu sendiri berasal dari kata ngubu atau ngubun yang dalam bahasa Melayu berarti bersembunyi di dalam hutan. Walaupun banyak yang dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya, Anak Dalam Batin Sembilan yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan, terutama daerah Rawas Rupit dan Musi Lakitan, masih banyak yang menggantungkan hidupnya dari hasil persawitan.
Kepercayaan yang dianut suku pedalaman ini adalah animisme yang memuja kekuatan dari alam semesta. Mereka bertahan hidup dengan berburu menggunakan senjata seperti parang, kapak, dan pisau serta meramu.
Pilihan Editor: Badui Dalam Banyak Dikunjungi Pelajar selama Libur Sekolah