3. Badui Dalam
Suku yang berada di Kabupaten Lebak, Banten, ini merupakan salah satu suku pedalaman Indonesia yang masih bertahan menolak modernisasi seperti listrik, alat elektronik seperti gawai, dan akses internet. Berbeda dengan suku Badui luar, suku Badui Dalam benar-benar membatasi diri dari akses dunia luar.
Akan tetapi, tidak seperti beberapa suku pedalaman lain yang terhitung sulit untuk dijangkau, suku Badui Dalam masih cukup terbuka untuk menerima warga dari luar wilayahnya. Mereka masih menerima kunjungan orang luar di hari-hari dan waktu-waktu tertentu dengan syarat untuk tetap mematuhi aturan yang berlaku di sana.
Mereka menganut ajaran Sunda Wiwitan yang meyakini arwah leluhur dan memuja satu kekuatan besar di alam ini yang mereka imani keberadaannya (animisme) dan sangat menghormati kepala adat yang disebut Pu’un.
Permukiman suku Badui Dalam berada dekat dengan sumber air atau sungai, sehingga keberlangsungan hidup mereka benar-benar bergantung pada kondisi air sungai. Berangkat dari sana, masyarakat suku Badui juga sangat mementingkan kelestarian alam di sekitarnya.
Dikarenakan tidak memiliki akses moda transportasi, suku Badui Dalam terbiasa berjalan kaki untuk bepergian. Meskipun bisa berjalan jauh dalam waktu yang lama, terdapat peraturan bahwa adanya batas waktu untuk warga suku Badui Dalam yang sedang bepergian meninggalkan area mereka. Jika melanggar, terdapat sanksi, yang paling tinggi bisa dikeluarkan dari anggota kesukuan.
4. Wana
Suku Wana berasal dari sebuah kawasan yang terletak di pedalaman provinsi Sulawesi Tengah bagian timur. Wilayah ini meliputi wilayah pedalaman Kabupaten Poso (terutama di Kecamatan Ampana Tete, Ulu Bongka, dan pedalaman Kecamatan Bungku Utara), Kabupaten Morowali (Kecamatan Mamolosato, Petasia, dan Soyojaya), dan wilayah pedalaman di Kabupaten Luwuk Banggai.
Suku Wana biasa menyebut dirinya Tau Taa (orang Taa), berbeda dengan sebutan dari orang luar yaitu Tau Taa Wana yang artinya orang yang tinggal di kawasan hutan. Sebutan itu merujuk pada bahasa yang mereka gunakan, yaitu bahasa Taa. Bahasa ini disebut juga bahasa ingkar yang masih merupakan satu bagian dari kelompok bahasa Pamona.
Meskipun merupakan suku pedalaman, suku Wana menjalin hubungan yang baik dengan penduduk pantai, terlebih untuk mendapatkan barang-barang berbahan besi. Mata pencarian umum yang mereka lakoni adalah berladang seperti padi, jagung, ubi-ubian, kopi, pisang, dan kelapa. Biasanya, suku Wana mengumpulkan rotan, damar, atau kayu besi untuk dijual sehingga uangnya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan dari pesisir.
Selain kepercayaan animisme dan dinamisme, beberapa warga suku Wana yang sering berhubungan dengan orang-orang Bugis, Mori, Ampana, atau Bajau banyak yang berujung memeluk agama Islam. Sebagian lainnya memeluk agama Kristen Protestan yang ajarannya dibawa oleh seorang penginjil di Lemo.