TEMPO.CO, Jakarta - Panganan lamang biasanya dinikmati dengan kuah opor atau rendang. Namun pernahkah Anda mencoba mengonsumsi lamang dengan paduan tapai ketan? Walau terdengar tidak biasa, memadukan lamang dengan tapai ketan cukup populer di Sumatera Barat. Penganan ini disebut lamang tapai.
Kuliner khas ini dikenal berasal dari Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Biasanya mudah ditemui saat Ramadan sebagai menu buka puasa. Saat Idul Fitri makanan ini disuguhkan sebagai sajian lebaran. Selain enak, Lamang Tapai ternyata mengandung nilai filosofi bagi masyarakat Minangkabau.
Lemang atau orang Minang menyebutnya lamang merupakan beras ketan yang dimasak menggunakan bambu. Cara membuatnya, beras ketan dicampur santan lalu dimasukkan ke dalam bambu yang telah dilapisi daun pisang. Bambu kemudian dibakar hingga ketan matang, jadilah lamang.
Bukan lamang Tapai namanya kalau tak dimakan bersama tapai. Tapai di Indonesia biasanya ada dua jenis, tapai singkong dan tapai ketan. Tapi hanya tapai ketan yang cocok dinikmati dengan Lemang. Cara membuatnya: kukus ketan hingga matang. Setelah dingin, campur dengan ragi jenis saccharomyces dan sejumput gula. Diamkan di suhu ruangan selama tiga hari.
Cara penyajian Lamang Tapai tak perlu ribet. Lamang cukup dipotong sesuai selera. Lamang lalu dicampur dengan tapai ketan bersama airnya. Cita rasa gurih Lemang berpadu dengan manis dan asamnya tapai akan menghadirkan variasi rasa yang unik. Penganan ini cocok untuk berbuka puasa, apalagi tapai baik untuk kesehatan pencernaan.
Meski air tapai memang mengandung alkohol, tapi bukan dikategorikan sebagai khamar. Dilansir dari Halalmui.org, Imam Abu Hanifah menyebut makanan yang mengandung alkohol sebagai Nabidz. Nabidz halal dikonsumsi karena tidak menyebabkan mabuk. Adapun alkohol yang dimaksud adalah terkandung secara alami. Bukan ditambahkan yang khamar atau tuak.
Dilansir dari jurnal Lamang Tapai : Makanan Melayu Kuno dalam Tradisi Minangkabau (2019) oleh Tania Yovani, di Sumatera Barat, Lamang merupakan makanan yang wajib ada pada waktu-waktu tertentu. Tak hanya saat Ramadan dan Idul Fitri, lamang tapai juga umum ditemui saat Idul Adha, peringatan Maulud Nabi, peringatan wafat, dan baralek atau pesta pernikahan.
Biasanya masyarakat akan membuat lamang tapai sebelum hari spesial tiba. Tradisi ini disebut dengan malamang dan dilakukan secara gotong royong. Sebenarnya tidak ada makna simbolis yang melatarbelakangi penyajian lamang dan tapai dalam upacara adat masyarakat Minangkabau.
Namun dari segi rasa, sebagian masyarakat Minang merasa lamang kurang lengkap jika tidak dikonsumsi bersamaan dengan tapai. Secara filosofi, mereka mengibaratkan lamang dan tapai sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki tanpa perempuan atau sebaliknya dianggap tidak sempurna seperti lamang tanpa tapai.
Ada pantangan yang tak boleh dilanggar dalam pembuatan lamang dan tapai. Bambu yang akan digunakan untuk membuat lamang tak boleh dilangkahi. Hal ini diyakini menyebabkan lamang tajulua atau keluar saat dimasak. Pun dalam pembuatan tapai, orang yang mencampurkan ragi pada ketan harus sudah berwudu. Tapai juga tak boleh dibuat oleh wanita haid. Ketan diyakini tak jadi tapai jika kedua larangan ini dilanggar.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | EIBEN HEIZAR
Pilihan Editor: Mengenal Lamang Tapai Kuliner Khas Sumatera Barat Sambut Lebaran