TEMPO.CO, Bandung - Tim Ekspedisi Indonesia Baru segera mengakhiri perjalanan keliling Indonesia selama satu tahun lebih dengan sepeda motor. Mereka akan menuntaskan misi pada 28 Agustus 2023 di Wonosobo, Jawa Tengah, yang sekaligus juga kota keberangkatan tim pada 1 Juli 2022. “Kami sambil jalan sudah menyelesaikan 10 video dokumenter,” kata anggota tim Farid Gaban saat singgah ke Bandung, Kamis, 17 Agustus 2023.
Karya film dokumenter itu mereka tampilkan di kanal YouTube Indonesia Baru. Beberapa judulnya seperti Angin Timur, Tanah Tabi, Base Genep-Warisan Bung Karno di Meja Makan, serta The Soulmates. Selain itu ada lima film yang masih disiapkan dengan durasi masing-masing satu jam dengan naungan tajuk Dragon for Sale. Tim Ekspedisi Indonesia Baru beranggotakan empat orang yaitu Farid Gaban, Dandhy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu.
Farid Gaban dan Dandhy Laksono Gabung 2 Ekspedisi
Farid Gaban sebelumnya pernah melakukan perjalanan serupa dengan Ahmad Yunus lewat Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa pada 2009. Sementara Dandhy Laksono bersama Suparta alias Ucok kepincut melakukan perjalanan serupa itu lewat Ekspedisi Indonesia Biru pada 2015 selama 365 hari. Menurut Farid, Ekspedisi Indonesia Baru merupakan gabungan dua ekspedisi sebelumnya itu dengan lebih menonjolkan hasil dokumentasi dalam bentuk video, selain buku yang sedang ditulis.
Rute perjalanan yang dimulai dari Wonosobo ke timur, seperti Yogyakarta, Banyuwangi, Bali, Flores, Lombok, Sulawesi, Halmahera, Kalimantan, Papua, Sumatera, lalu ke Jawa. Dibagi menjadi dua kelompok, mereka memotret kondisi masyarakat lokal, adat, budaya, keindahan alam dan kerusakannya, konflik agraria, serta kuliner dan kerajinan dalam khasanah keanekaragaman hayati.
10 Bali Baru Rencana Buruk
Mereka pun tertarik membahas soal pariwisata terkait 10 Bali baru yang dirancang pemerintah. “Secara umum kami anggap rencana itu buruk,” kata Farid Gaban. Alasannya karena tidak mungkin mereplikasi Bali di tempat lain sebab budaya dan agama yang berbeda. Pada akhirnya yang dilakukan pemerintah adalah pembangunan hotel atau resort yang merusak alam dan menggusur masyarakat.
Kapasitas warga lokal dinilainya juga tidak dikembangkan pemerintah untuk mengelola pariwisata sambil melestarikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional. “Kita punya potensi pariwisata yang dahsyat tapi cara berpikir pemerintah ini masih berorientasi pada fisik dan investasi,” ujarnya.
Sementara di daerah seperti Singkawang, warga mengelola secara mandiri tempat wisata daerah, juga komunitas warga di Halmahera. Tantangannya, lokasi wisata seperti sungai bawah tanah terancam kebijakan pemerintah yang memutuskan areanya sebagai lokasi pertambangan.
Pilihan Editor: Film Dokumenter Pulau Plastik Tayang di Bioskop agar Masyarakat Peduli Bahayanya