TEMPO.CO, Yogyakarta - Salah satu destinasi yang jadi pilihan wisatawan saat berkunjung ke Yogyakarta tak lain mengunjungi salah satu dari museum-museumnya yang tersebar di lima kabupaten/kota. Kunjungan museum masih menjadi salah satu pilihan utama rombongan wisatawan dari kelompok pelajar/ sekolah (study tour) berbagai daerah Indonesia dan wisatawan mancanegara yang melakukan riset atau sekedar napak tilas sejarah.
"Agar museum dapat terus hidup syaratnya harus update, berorientasi kepada publik dalam arti mau membuka diri pada perkembangan yang terjadi di masyarakat," ujar seniman yang juga art director Ong Hari Wahyu dalam Sarasehan Komunitas: Mitra Sejati Museum yang digelar di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Jumat, 21 Oktober 2022.
Menurut Ong, dalam masyarakat masih sering kali tertanam stigma yang salah kaprah dengan menganggap museum sebagai sekedar tempat menyimpan koleksi benda kuno atau objek peninggalan masa tertentu dalam suatu perjalanan sejarah. Museum hanya dianggap sebagai penyimpanan barang masa lalu sehingga seringkali muncul olok-olok 'dimuseumkan saja' ketika ada sesuatu barang/benda yang tampak sudah tak berguna, sudah usang, ketinggalan zaman atau kurang update.
"Dengan mindset yang sudah berkembang seperti itu, museum harus dibunyikan lagi gaung-nya, dengan cara menarasikan ulang atau merevitalisasi hal-hal yang masih bermanfaat bagi pengetahuan generasi," ujar Ong.
Menarasikan sesuatu yang lawas untuk memberi pengetahuan bagi masyarakat dan generasi berikutnya itu, kata Ong, tak cukup hanya bermodal anggaran. Dengan langkah itu, justru ujungnya dana hanya dipakai sekedar menggelar kegiatan misalnya menggelar acara komunitas atau bazar dadakan di area museum. Namun kegiatan yang dilakukan harus punya semangat menjaga kebudayaan.
"Misalnya saja saat ini generasi muda mungkin asing mendengar buah-buahan dari masa lalu, seperti kalau di Yogya dikenal buah ceplukan, sawo kecik, atau mundu? Sebab tanaman buah itu sendiri juga mungkin sudah jarang sekali ditemui sehingga tidak dikenal karena tak ada yang menanam," kata Ong.
Tak hanya itu, Ong menuturkan sejumlah makanan tradisional asal Yogya seperti tiwul, getuk atau corot yang berasal dari olahan singkong atau ketela diduga kuat makin kurang diketahui keberadaannya oleh generasi muda karena minimnya etalase untuk produk itu. Ong pun selaku pendiri Pasar Kangen Jogja, mencoba memberikan etalase bagi produk makanan lokal seperti itu melalui event yang digelar setiap tahunnya sejak 2007 tersebut dan kini sukses jadi acara yang dinanti masyarakat untuk klangenan itu.
"Kami tak masalah Pasar Kangen itu mau dikunjungi ribuan apa ratusan orang, tapi yang penting ada ruang bagi produk lokal seperti tiwul itu dekat masyarakat, kalau tidak lama lama makanan itu punah dan kita akan kehilangan kebudayaan yang sangat mahal," kata Ong.
Untuk memposisikan museum sebagai sumber pengetahuan, menurut Ong, perlu melek dengan berbagai hal dan fenomena kebudayaan di sekitarnya agar bisa bermanfaat bagi publik. Tak jauh dari Museum Benteng Vredeburg, ada sebuah kampung legendaris Kauman tempat kiprah pendiri organisasi besar Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan yang terkenal.
Sampai sekarang mungkin banyak generasi muda tak mengetahui apa saja peninggalan Ahmad Dahlan yang masih disimpan masyarakat sebagai kenangan atas tokoh itu. "Mungkin saja para orang tua di Kauman masih ada yang menyimpan foto-foto Ahmad Dahlan yang bisa jadi pengetahuan selain barang barang peninggalannya yang selama ini sudah diketahui, dari Kauman saja banyak sejarah yang bisa dinarasikan museum untuk pendidikan," kata Ong.
"Saat ini teknologi untuk mempromosikan museum pun sudah sangat mendukung, tinggal kita mau mengisinya dengan konten seperti apa agar bisa jadi sumber pembelajaran," kata Ong yang juga menyebut pemerintah tak bisa lepas tangan dalam upaya membuat museum tetap hidup di tengah masyarakat agar menjadi satu pusat pengetahuan bukan tempat menyimpan benda usang.
Kepala Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Suharja menuturkan untuk menggeliatkan museum agar menjadi sumber pengetahuan yang dinamis, memang tak bisa sekedar mengandalkan benda benda semata. "Museum hidup karena ada komunitas yang menghidupinya, dari interaksi komunitas itu museum dapat menemukan dan mengenali potensinya untuk berkembang," kata dia. Menurut dia, museum tidak hanya bertugas merawat dan melindungi koleksi yang dimiliki. Melainkan menjadi sumber penggerak bagaimana masyarakat terlibat aktif dalam memajukan museum.
Baca juga: Tak Cuma Universal Studios Singapura, Ada Museum Perang Fort Siloso di Pulau Sentosa
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dulu.