Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Yogyakarta Punya Omah Wayang, Ini Fungsinya

image-gnews
Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat menyambangi Omah Wayang yang baru diresmikan pada Senin, 22 Agustus 2022. Dok. Pemda DIY
Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat menyambangi Omah Wayang yang baru diresmikan pada Senin, 22 Agustus 2022. Dok. Pemda DIY
Iklan

TEMPO.CO, Yogyakarta -  Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X meresmikan Omah Wayang yang berlokasi di Jalan Langenastran Kidul, Kalurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, Yogyakarta, Senin, 22 Agustus 2022. "Omah Wayang ini juga menjadi satu pusat untuk mewadahi berbagai aktivitas seperti menari dan pentas wayang untuk masyarakat," kata Sultan.

Dalam Omah Wayang yang peluncurannya bersamaan dengan peluncuran Grha Keris itu, terdapat sejumlah koleksi ragam wayang yang bisa dipelajari masyarakat luas juga wisatawan. Seperti Wayang Ukur, Wayang Hip-hop, Wayang Babad, Wayang Republik, Wayang Kancil, hingga Wayang Wacinwa alias Wayang Cina-Jawa.

Soal nama Omah Wayang, Sultan membeberkan, karena wayang bagi orang Jawa adalah penggambaran integritas karakter baik dalam pola pikir maupun apa yang dirasakan secara utuh pencerminan kehidupan wayang itu sendiri. "Hal yang direpresentasikan tak melulu hal baik dan buruk, melainkan juga karakter-karakter yang mewarnai dalam kehidupan setiap manusia," kata Raja Keraton Yogyakarta itu.

Sultan menuturkan, dari Omah Wayang itu, masyarakat diajak kembali nuladha (berkaca), pada leluhur yang sudah menciptakan pertunjukan yang begitu luar biasa di masa lampau. Baik dalam aspek pertunjukan filosofi, tradisi, dengan nilai filosofi yang melatarbelakanginya.

"Dari Omah Wayang ini kami berharap aktivitas kebudayaan yang terjari di dalamnya akan tinggi," kata dia. Baik dalam bentuk dialog dan diskusi, untuk sarana bertukar pikiran yang nantinya bisa ditularkan ke generasi muda. “Memang betul wayang itu, seperti Mahabarata dan Ramayana bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntunan. Biarpun dalam perkembangannya, tuntunan hanya sedikit dan lebih banyak dagelannya. Seperti halnya hidup, juga banyak dagelannya,” ujarnya. 

Salah seorang tim kurator, Sumaryono mengatakan Omah Wayang didirikan untuk memelihara dan mengembangkan dunia pewayangan di DIY. Dampaknya diharapkan dapat menjangkau nasional maupun internasional.  “Dunia wayang di Yogya itu perlu diopeni (dirawat) agar nilai nilainya bisa terus menjadi sumber inspirasi," kata dia.

Dari Omah Wayang ini, cita-cita yang ingin dicapai menjadikan Yogya sebagai ibu kota wayang dunia. “Prinsipnya, Omah Wayang ini sebagai tempat workshop, menggelar diskusi, seminar dan pementasan dalam rangka meningkatkan eksplorasi atau penemuan baru,”  kata Sumaryono yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen ISI Yogyakarta Prodi Seni Pertunjukan itu.

Omah Wayang ini bisa memfasilitasi mulai wayang-wayang tradisional hingga wayang modern atau ciptaan baru seperti wayang republik, wayang lukis, wayang ukur, atau wayang seng. “Wayang itu sudah bias, tidak hanya di pertunjukannya, tapi juga wayang komik seperti Kosasih yang bercerita tentang Ramayana dan Mahabarata," kata dia.

Meski demikian, wayang-wayang langka, seperti wayang purwa dengan kisah populernya yakni Ramayana dan Mahabharata memang tak bisa dipungkiri. “Kita juga punya wayang Wacinwa (Wayang Cina Jawa) lalu wayang Beber," ujarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wayang Beber bahkan hanya tinggal dua yakni yang dibuat zaman Mataram-Kartasura. Pertama ada di Pacitan (Joko Kembang Kuning) dan Gunungkidul (Remeng Mangunjaya). 

"Dari usianya sudah sejak zaman Mataram-kartasura, itu kan perlu peremajaan dan bisa jadi sumber kreasi,” kata dia.

Adapun Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi menuturkan hadirnya Omah Wayang juga Grha Keris menjadi penyokong tempat persemaian budaya wayang dan pelestarian budaya keris sesuai dengan perkembangan zaman. “Dari dua tempat ini, menjadi ajang penggalian dan pengkajian potensi ekosistem pewayangan di DIY juga melakukan pengembangan budaya wayang yang sudah ada," kata Dian.

Dian bertutur baik Ghra Keris dan Omah Wayang disiapkan sebagai wahana untuk mencari referensi soal keris dan wayang. “Nantinya dari dua tempat ini akan kami kembangkan fasilitasnya, tak hanya aktivitas fisik namun juga pengajaran seperti tatah sunggih atau tata cara mendalang juga event rutinnya," kata dia.

PRIBADI WICAKSONO

Baca juga: Tur Virtual, Kenali Koleksi Wayang di Museum Wayang dari Rumah

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Aeropolis Dekat Bandara YIA, Sultan Hamengku Buwono X Minta agar Tak Ada Kawasan Kumuh

1 hari lalu

Yogyakarta International Airport atau bandara YIA di Kulon Progo. Dok. Istimewa
Aeropolis Dekat Bandara YIA, Sultan Hamengku Buwono X Minta agar Tak Ada Kawasan Kumuh

Sultan Hamengku Buwono X meminta agar Kulon Progo memilah investor agar tidak menimbulkan masalah baru seperti kawasan kumuh.


Sultan Hamengku Buwono X Gelar Open House setelah Absen 4 Kali Lebaran, Ada Jamuan Tradisional

9 hari lalu

Raja Keraton Yogya Sri Sultan HB X saat melaunching Museum Kereta Keraton Yogyakarta yang kini berganti nama menjadi Kagungan Dalem Wahanarata Selasa (18/7). Dok.istimewa
Sultan Hamengku Buwono X Gelar Open House setelah Absen 4 Kali Lebaran, Ada Jamuan Tradisional

Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam X absen gelar open house selama empat tahun karena pandemi Covid-19.


Tradisi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta, Tahun Ini Tak Ada Rebutan Gunungan, Abdi Dalem Membagikan

10 hari lalu

Prosesi Grebeg Syawal yang digelar Keraton Yogyakarta di Masjid Gedhe Kauman Kamis 11 April 2024. Dok.istimewa
Tradisi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta, Tahun Ini Tak Ada Rebutan Gunungan, Abdi Dalem Membagikan

Tahun ini, tradisi Grebeg Syawal tidak lagi diperebutkan tapi dibagikan oleh pihak Keraton Yogyakarta. Bagaimana sejarah Grebeg Syawal?


Tradisi Grebeg Syawal Yogya, Ini Alasan Gunungan Tak Lagi Diperebutkan Tapi Dibagikan

12 hari lalu

Prosesi Grebeg Syawal yang digelar Keraton Yogyakarta di Masjid Gedhe Kauman Kamis 11 April 2024. Dok.istimewa
Tradisi Grebeg Syawal Yogya, Ini Alasan Gunungan Tak Lagi Diperebutkan Tapi Dibagikan

Keraton Yogyakarta kembali menggelar tradisi Grebeg Syawal dalam memperingati Idul Fitri 2024 ini, Kamis 11 April 2024.


78 Tahun Sultan Hamengkubuwono X, Salah Seorang Tokoh Deklarasi Ciganjur 1998

21 hari lalu

Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X menyebar udik-udik bagian dari acara Kondur Gongso di Masjid Agung Gedhe, Yogyakarta, (23/1). Upacara Kondur Gongso merupakan upacara dalam menyambut Maulud Nabi. TEMPO/Subekti
78 Tahun Sultan Hamengkubuwono X, Salah Seorang Tokoh Deklarasi Ciganjur 1998

Hari ini kelahirannya, Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak hanya sebagai figur penting dalam sejarah Yogyakarta, tetapi juga sebagai tokoh nasional yang dihormati.


Sultan Hamengku Buwono X Heran Kasus Antraks di Sleman dan Gunungkidul Muncul Kembali, Karena Tradisi Ini?

35 hari lalu

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X (kiri) dan  Wakil Gubernur DIY Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam X (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan usai pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY di Istana Negara, Jakarta, Senin 10 Oktober 2022. Presiden Joko Widodo melantik Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam X sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY masa jabatan 2022-2027 sesuai dengan Undang-Undang No. 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Sultan Hamengku Buwono X Heran Kasus Antraks di Sleman dan Gunungkidul Muncul Kembali, Karena Tradisi Ini?

Sultan Hamengku Buwono X mengaku heran karena kembali muncul kasus antraks di Sleman dan Gunungkidul Yogyakarta. Diduga karena ini.


Dian Sastro dan Nicholas Saputra Berpasangan dalam 5 Film, Bukan Cuma Ada Apa dengan Cinta

35 hari lalu

Pemeran film romantis yang populer di tahun 2002, Ada Apa Dengan Cinta, Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra menghadiri konfrensi pers film Ada Apa Dengan Cinta 2 di The Hall Senayan City, Jakarta, 15 Februari 2016. TEMPO/Nurdiansah
Dian Sastro dan Nicholas Saputra Berpasangan dalam 5 Film, Bukan Cuma Ada Apa dengan Cinta

Dian Sastro dan Nicholas Saputra kerap dipasangkan dalam sebuah produksi film. Setelah Ada Apa dengan Cinta, berikut film lainnya mereka berdua.


60 Event Meriahkan Hari Jadi DI Yogyakarta sampai April, Ada Gelaran Wayang dan Bazar

41 hari lalu

Tarian Beksan Trunajaya membuka Pameran Abhimantrana, Upacara Adat Keraton Yogyakarta yang digelar 9 Maret hingga 25 Agustus 2024. (Dok. Istimewa)
60 Event Meriahkan Hari Jadi DI Yogyakarta sampai April, Ada Gelaran Wayang dan Bazar

Penetapan Hari Jadi DI Yogyakarta merujuk rangkaian histori berdirinya Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat


269 Tahun Yogyakarta Hadiningrat, Apa Isi Perjanjian Giyanti?

41 hari lalu

Prajurit Keraton Yogyakarta mengawal arak-arakan gunungan Grebeg Syawal di halaman Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, 18 Juli 2015. Sebanyak enam buah gunungan diarak dalam acara ini. TEMPO/Pius Erlangga
269 Tahun Yogyakarta Hadiningrat, Apa Isi Perjanjian Giyanti?

Perjanjian Giyanti berkaitan dengan hari jadi Yogyakarta pada 13 Maret, tahun ini ke-269.


Menengok Sejarah 13 Maret sebagai Hari Jadi DIY dan Asal-usul Nama Yogyakarta

42 hari lalu

Ilustrasi Keraton Yogyakarta. Shutterstock
Menengok Sejarah 13 Maret sebagai Hari Jadi DIY dan Asal-usul Nama Yogyakarta

Penetapan 13 Maret sebagai hari jadi Yogyakarta tersebut awal mulanya dikaitkan dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755