TEMPO.CO, Balikpapan - Jauh di dalam Hutan Samboja, di pinggiran Kota Balikpapan, Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) membuka pelatihan – yang mereka sebut sebagai sekolah – bagi orangutan. Sekolah ini memang luar biasa: tugasnya membuat orangutan beradaptasi dengan rimba, sebelum dilepasliarkan.
Menukil Kantor Berita Antara, menuju kawasan sekolah BOSF di Kecamatan Samboja, membutuhkan waktu 1,5 jam dari Bandara Sepinggan, Balikpapan. Jalanan menuju hutan konservasi itu memang mulus, namun sebagian berkelok-kelok yang berujung pada jalanan tak beraspal. Tak hanya itu, lalu lintas di sepanjang jalan dari Balikpapan menuju Samboja juga cukup padat dengan kendaraan-kendaraan besar seperti truk.
Begitu menjejakkan kaki di area BOSF, biasanya, pengunjung bersua dengan Rambo, "Dia bisa dibilang orangutan yang cukup tua di sini," sambut Deputi Direktur Restorasi Habitat Orangutan Indonesia, dr Aldrianto Priadjati di Samboja.
Rambo rupanya tidak sendirian. Terdapat kurang lebih 100 orangutan yang "bersekolah" di BOSF yang sudah berdiri selama 28 tahun, "Ada 600 orangutan yang tinggal di seluruh hutan Kalimantan. Tapi di Kalimantan Timur terdapat 121 orangutan yang harus dididik sampai lulus," kata Aldrianto.
Romeo, orangutan yang sedang menjalani persiapan pelepasliaran di Borneo Orangutan Survival (BOS) Samboja Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur. (Tempo/Gunawan Wibisono)
Di tengah area hutan seluas 1852 hektar ini, ratusan orangutan dirawat dan dididik di sebuah "sekolah". Orangutan yang disekolahkan ini adalah mereka yang dulunya tidak tinggal di habitat hutan asli. Beberapa di antaranya bahkan pernah tinggal bersama manusia, hingga bermain sirkus.
Terlalu dekat dengan manusia, menjadikan primata itu sulit kembali ke habitat aslinya. Biasanya, mereka harus sekolah selama tujuh tahun agar perilakunya bisa kembali, sekaligus menjaga kesehatannya. Para pengelola dan relawan BOSF mendidik para orangutan ini agar dapat berperilaku, serta bisa bertahan dan dilepas kembali habitat asalnya, yakni di hutan Kalimantan setiap tahunnya.
"Sepanjang 2019 sudah ada 21 orangutan yang dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen, Kutai Timur. Utamanya orangutan jenis gen asli Kalimantan Timur, yaitu Pongo Abelii," kata Aldrianto.
Mobil melintasi papan larangan memberi makan satwa di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu, 28 Agustus 2019. Di kawasan itu masih banyak ditemui monyet-monyet liar. ANTARA
Untuk jadi murid di BOSF, juga tidak asal-asalan. Para ahli BOSF harus memeriksa kondisi kesehatan fisik dan mental dari orangutan. Pasalnya, saat diantar, ada yang terkena penyakit menular, cacat karena pernah ditembak oleh senapan manusia, serta berbagai masalah lain yang kerap menimpa hewan mamalia itu.
"Untuk memantau kesehatan, orangutan wajib skrining kesehatan setahun sekali. Sebelum dilepasliarkan, dipastikan orangutan sehat dan asli dari Kalimantan Timur," terang Aldrianto.
Selain primata, mamalia seperti beruang madu juga dididik di BOSF. Senasib dengan penghuni asli hutan Kalimantan Timur, beruang-beruang itu terlalu lama hidup di sekitar manusia. Terdapat kurang lebih 65 beruang madu atau sun bear yang ditampung dan dirawat di tempat itu. Mayoritas dari mereka adalah bekas dari tempat sirkus hingga peliharaan manusia yang disita Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Beruang madu Kalimantan. (REUTERS/David Moir/wt)
"Di sini ada 65 sun bear, kondisinya semua sama. Mereka trauma karena jadi korban perundungan manusia, main sirkus atau diperlakukan manusia tidak semestinya," kata Aldrianto.
Kegiatan BOSF merawat dan mendidik satwa yang trauma untuk kembali ke alam bebas, harapannya bisa menggugah kesadaran manusia untuk melindungi hewan yang diancam kepunahan.