Di hutan itu juga diterapkan aturan, yakni siapapun tidak boleh mengambil apapun. Jika ada yang melanggar, misalnya mengambil sebatang kayu yang sudah roboh, orang tersebut harus menyiapkan persembahan berupa pemotongan hewan di hutan larangan.
Menurut Namah, hasil bercocok tanam itu biasanya untuk dimakan sendiri oleh warga. Jika warga butuh uang, biasanya mereka menjual kemiri, asam, atau binatang. Pohon kemiri dan asam memang tumbuh banyak di sekitaran Kampung Adat Boti. “Kami cari uang itu untuk beli sesuatu yang tidak kami buat di sini. Yang bisa kami buat di sini, ya tidak perlu membeli,” kata Namah.
Selain Fainmate, tempat ritual lainnya ada di dalam kampung. Bentuknya bundar seperti rumah khas sana. Namun hanya raja yang boleh masuk ke dalamnya. Namah mengatakan di dalam rumah ibadah tersebut tersimpan pusaka peninggalan leluhur.
Dengan ritual yang begitu kental, masyarakat Boti juga memiliki aturan. Mereka tidak menggunakan listrik atau teknologi lainnya. Hanya beberapa orang saja yang diperbolehkan mempunyai telepon seluler dan motor. Genset listrik hanya tersedia di rumah tamu. Tak ada satu pun televisi di kampung itu. “Kalau ada televisi, nanti tradisi kami bisa luntur,” ujar Namah.
Meski penerapan ajaran leluhur sangat kental, Kerajaan Boti tetap terbuka terhadap pendidikan. Namah Benu mengatakan warganya tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya. Dia mencoba menyatukan pengetahuan dari pendidikan formal dan tetap memelihara ajaran-ajaran tradisi.
Dari satu keluarga yang mempunyai empat anak misalnya, dua anak harus sekolah formal dan sisanya belajar mengenai tradisi dan adat. Dengan demikian, warga Boti tetap bisa melestarikan adat dan tradisi leluhur tanpa teralienasi dari peradaban.
Warga Suku Boti menyiapkan peringatan meninggalnya ibu Raja di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian
Masyarakat Boti juga dikenal karena kebijakannya. Mereka tak menghukum pemcuri. Alasannya, pencuri jika barang curiannya habis terpakai, mereka akan mencuri lagi. Solusinya, masyarakat Boti mengumpulkan barang-barang dari seluruh kepala keluarga di Desa Boti, untuk diberikan kepada pencuri.
Bila mencuri hasil panen, misalnya pisang, maka warga menanam pisang sebanyak kebutuhan pencuri. Alam juga sangat dipelihara oleh masyarakat Boti. Bila ada seseorang menebang pohon, mereka menggantinya dengan menanam 5 sampai 10 pohon.
Anak-anak adat di lingkungan sonaf (kerajaan) dibagi menjadi dua. Sebagian diperbolehkan untuk bersekolah, sedangkan sebagiannya lagi tidak diperbolehkan demi menjaga dan meneruskan tradisi serta adat dari suku Botti ini.
Mereka yang tak bersekolah diajarkan kemandirian, untuk memenuhi kebutuhan sandang, dan papan seperti membuat menanam, membuat minyak goreng, memanen dan memintal kapas untuk menenun dan lain-lain.