TEMPO.CO, Jakarta - Nusantara memiliki keragaman suku dan budaya yang unik. Salah satunya Suku Boti yang mendiami enam kampung adat. Mereka adalah keturunan langsung rakyat Kerajaan Boti di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Raja Boti saat ini dijabat Usif Namah Benu.
Kampung Adat Boti terletak sekitar 30 kilometer dari Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Suku adat yang mendiami pegunungan di Kecamatan Kie ini merupakan segelintir yang tersisa dari pewaris tradisi suku asli pulau Timor, Atoni Metu.
Kampung ini terbagi menjadi dua, yakni Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam sekitar 77 Kepala Keluarga atau 319 jiwa, sedangkan Boti Luar sekitar 2.500 jiwa. Hanya Kampung Adat Boti Dalam yang mewarisi dan mempraktikkan tradisi lokal dan agama asli yang disebut Uis Neno Ma Uis Pah, dewa langit dan bumi.
Warga Boti Dalam tinggal di areal seluas 3.000 meter persegi yang dikelilingi pagar kayu. Sedangkan Boti Luar sudah beragama. Mereka menganut Kristen Protestan dan Katolik.
Kain tenun Suku Boti di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 5 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian
Warga Boti Dalam masih menganut kepercayaan bercorak animism yang disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah merupakan mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Uis Pah disebut juga sebagai Dewa Bumi.
Falsafah hidup warga Boti bahwa kesejahteraan dan kemaslahatan hidup hanya bisa didapat dengan menjaga dan merawat alam, “Kita manusia ini menjaga alam, maka alam akan menjaga kembali kita. Ini dipertahankan dari keturunan sampai sekarang masih berjalan,” ujar Namah.
Menurut Namah, ba’i (para pendahulu mereka) mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan tradisi untuk menyatu dengan alam. Mereka menggelar upacara adat tiga kali tiap tahun, yakni saat membersihkan kebun, setelah menanam, dan setelah memanen.
Ritual upacaranya adalah mulai dari menyiapkan binatang berupa kerbau, sapi, kambing, babi, atau binatang apa saja, serta hasil bumi, yakni ubi, pisang, jagung. “Satu tahun itu kami minta makanan dari alam. Kami dapat banyak, jadi kami pergi, kasih tahu, ini kami dapat hasilnya sekian,” ujar Namah.