Kiat yang ditempuh, Magelang menjadikan Candi Borobudur magnet untuk menarik wisatawan sebanyak mungkin, lalu ditangkap untuk menikmati spot-spot lain di sekitar candi tersebut.
“Jadi Magelang dapat manfaat langsung dari Borobudur. Kalau datang ke Borobudur sebisa mungkin datang ke tempat lain,” kata Iwan.
Strategi ini mengharuskan Pemkab Magelang kreatif, dengan memberdayakan lokasi-lokasi di sekitar Borobudur. Semisal melihat candi megah itu ketika matahari terbit dari Punthuk Setumbu, Gereja Ayam, maupun dari desa-desa wisata yang tersebar di seputaran candi.
Saat ini ada 51 desa wisata dari 272 desa di Magelang. Desa-desa wisata itu menyuguhkan kekhasan masing-masing, baik berupa produk kerajinan tangan, budaya, maupun pesona alamnya.
Magelang juga menjaja pegunungan yang mengepungnya demi bisnis pariwisata, seperti Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, Andong, Telomoyo. Gunung-gunung itu menjadi jujugan pecinta alam sebelum pendakian ke puncak.
Bahkan “gunung mini” juga dijaja, semisal Gunung Andong setinggi 1.731 meter, “Kalau sekedar untuk selfie di puncak tanpa harus capek, cukup ke Gunung Andong,” kata Iwan.
Proses pembuatan kerajinan gerabah di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Kamis 11 Juli 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Jika tak ingin berjalan kaki bisa mendaki Gunung Telomoyo yang dapat dilalui kendaraan. Namun apabila ingin menikmati pendakian mainstream bisa menuju ke Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, atau pun Sumbing.
Hani menyambut baik paradigma pariwisata yang dibangun pemeritah saat ini. Semestinya, hal itu dilakukan sejak 20-30 tahun lalu, “Sehingga kemajuan Magelang bisa mengimbangi Yogyakarta. Kemacetan Yogyakarta tidak separah saat ini,” kata Hani.
Sementara Iwan menggarisbawahi, pembangunan pariwisata Magelang berbasis masyarakat. Pariwisata jadi alat ungkit yang kuat untuk kesejehateraan masyarakat, membuka kesempatan kerja, membuka peluang usaha.