Catatan Perjalanan Tempo Menyusuri Lahan Gambut Banyuasin
Editor
Tulus widjanarko
Senin, 10 April 2017 05:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menunggang gajah di kebun binatang di kota sudah terlalu biasa. Mainstream, kata orang. Tidak biasa itu adalah kalau bisa menunggang gajah di lahan gambut. Apalagi jika dilakukan sembari belajar mengenai lekuk-lekuk manajemen pengelolaan air di area yang rawan terbakar tersebut. Seperti yang saya lakukan pada 24 Februari lalu saat mengunjungi Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Dalam perjalanan sehari penuh itu saya dan rombongan dari Forum Koordinasi Daerah Aliran Sungai Sumatera Selatan, akademisi dari berbagai kampus, dan praktisi lingkungan tidak sekadar berkeliling bersama gajah. Kami juga berkesempatan melakukan penghijauan, mengenal potensi lahan gambut beserta persoalannya, memahami kondisi sosial ekonomi petani sawit dan karet, serta belajar manajemen air di lahan gambut.
Untuk menuju Padang Sugihan kami berangkat dari Benteng Kuto Besak, Palembang, lalu melintasi Sungai Jalur yang merupakan anak Sungai Musi. Berperahu selama hampir 90 menit, kami mampir di warung terapung di daerah Muara Padang. Di sana kami menyantap pempek beserta cuka, roti, dan pisang goreng hangat, ditutup dengan menyeruput secangkir kopi dan teh. Tidak lama kami di situ, hanya 10 menit. Robiyanto H. Susanto, guru besar bidang manajemen air dan rawa gambut dari Universitas Sriwijaya yang pagi itu kami lantik menjadi ketua rombongan meminta peserta kembali ke speed boat untuk melanjutkan perjalanan ke Padang Sugihan. "Harap kembali ke kapal kita sudah ditunggu gajah," kata dia.
Rombongan bergegas meninggalkan warung kopi yang berdinding kayu dan beratap seng tersebut. Seorang peserta dari Jakarta yang belum sempat menghabiskan kopi pahitnya, tergopoh-gopoh menaiki kapal. Namun, dia masih sempat menyelamatkan sepotong pisang goreng di tangannya. Dua speed boat bertenaga 200 PK kembali membelah air sungai yang berwarna kecokelatan tersebut. Persis pukul 10.00 rombongan tiba di Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan.
Seekor gajah yang berusia sekitar dua tahun menyambut kami. Awalnya, anak gajah yang belum diberi nama tersebut tampak kurang antusias melihat kami. Ia tetap bersantai menikmati embusan angin di bawah rimbunnya pohon akasia. Dia baru sudi bangkit ketika kami menjahilinya.
Hilang malasnya, gajah muda itu mulai menampakkan kelincahan. Ekor, belalai, bahkan kuping ia kibas-kibaskan sebagai tanda siap bermain. Keramahannya membuat kami gemas. Sekelompok dosen perempuan dari Universitas IBA Palembang dan praktisi pertanian serta lingkungan dari Bogor tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dengan berfoto bersama si gajah. Seorang pengunjung berusaha memeluk badan gajah yang beratnya hampir satu ton itu.
Selanjutnya: Pohon peneduh untuk kawasan yang rusak
<!--more-->
Setelah bercengkrama beberapa saat, kami menunggangi gajah yang usianya lebih tua. Gajah itu membawa kami berjalan sejauh satu kilometer di sepanjang tepi sungai hingga memasuki area rawa gambut. Gajah kedua ini juga belum memiliki nama. Jumiran, Kepala Sub Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan mengatakan masih menunggu penamaan resmi dari kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan di Palembang.
Dia menjelaskan, pengunjung juga dapat ikut memandikan dan mengembalakan binatang yang dilindungi itu. Lokasi pemandian ada di jembatan 3, 4, dan 5. Ketiga lokasi tersebut dipilih karena turunannya tidak terlalu curam sehingga aman bagi pawang dan gajah. Kedalaman airnya juga sesuai dengan postur gajah. “Kami tidak mematok tarif,” kata Jumiran perihal ongkos bercengkerama dengan gajah Padang Sugihan.
Pusat pelatihan seluas 86.932 hektare ini memiliki 30 ekor gajah terlatih yang terdiri dari 8 gajah jantan dewasa, 16 gajah betina dewasa, 4 ekor anak jantan, dan 2 ekor anak betina. Sementara di luar kawasan tersebut masih ada sekitar 23 ekor gajah liar. Gajah-gajah jinak tersebut dibina oleh setidaknya 40 orang pawang.
Ketika yang lainnya sedang bersukaria bersama gajah, sebagian peserta memilih menanam pohon peneduh yang juga berfungsi sebagai penjaga daerah aliran sungai. Ketua Forum Koordinasi Daerah Aliran Sungai Sumatera Selatan, Syafrul Yunardy menuturkan, penanaman pohon peneduh penting dilakukan mengingat sebagian besar daerah aliran sungai di provinsi ini rusak.
Puas menikmati pemandangan rawa gambut dari punggung gajah dan menanam pohon di Padang Sugihan, ketua rombongan mengajak peserta mampir di Desa Sidomulyo yang berjarak selemparan batu dari Pusat Latihan. Meskipun jaraknya sangat dekat, kami harus menumpang kapal lagi untuk menyeberang ke perkampungan trasmigran asal Pulau Jawa itu. Dari pinggir sungai, sepanjang mata memandang, terhampar perkebunan sawit dan karet milik warga. Buah sawit segar yang berwarna kuning kemerah-merahan bertumpuk di sana- sini.
Ngadino, warga yang dituakan di kampung tersebut menuturkan, pemerintah menyediakan lahan seluas dua hektare untuk petani, ditambah pekarangan seluas seperempat hektare. Perkampungan yang dulunya merupakan persawahan tersebut tampak sepi karena sebagian besar warganya sedang berada di kebun.
Karlin Agustina, Rektor Universitas IBA Palembang, mengibaratkan perjalanan ini dengan kuliah kerja nyata. Peserta, kata dia, belajar tentang pertanian, manajemen air, hingga sosial-ekonomi pertanian langsung dari praktisinya, sambil berwisata. Dalam tur ini pula peserta dapat menimba ilmu praktis sebagai pengayaan ilmu yang didapat di kampus dan literatur.
Belajar pertanian belum selesai sampai di situ. Rombongan lalu diajak mempelajari manajemen air di sebuah perkebunan sawit milik perusahaan swasta di Sungai Biyuku, Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir.
Menjelang sore sebelum pulang ke Palembang, peserta berkesempatan mengunjungi perkebunan akasia milik PT Bumi Andalas Permai. Di perkebunan tersebut, peserta menyaksikan tata kelola air melalui pembuatan sekat kanal. Di perkebunan itu juga peserta dapat mempelajari manajemen penanggulangan kebakaran di lahan gambut dengan cara tetap menjaga kebasahan lahan.
Parliza Hendrawan (Banyuasin)