Coffee Journey (3): Menelusuri Jejak Asal Kopi di Malabar
Rabu, 28 September 2016 12:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Secangkir kopi panas tersaji di meja pendapa Malabar Mountain Coffee di Desa Margamulya, Pengalengan, Kabupaten Bandung. Ukuran cangkir itu tak lebih besar dari kepalan tangan balita. Kopi itu tersaji gratis bagi saya, tapi tidak bagi pelanggan Malabar Mountain Coffee. “Saya banderol Rp 21 ribu di kedai," kata Slamet Prayoga, pemilik Malabar Mountain Coffee, Selasa lalu.
Menurut Yoga—panggilan akrab Slamet Prayoga—harga itu termasuk wajar. Lebih-lebih bila mengetahui proses panjang kopi itu sebelum diseduh dengan air panas.
Baca juga: Coffee Journey (1): Indahnya Naik-naik ke Kebun Kopi
Foto-foto: Melihat Keindahan Kebun Kopi Malabar, Bandung
Video: Serunya Ngopi di Kebun Malabar
Pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, tersebut mengatakan tak mudah menghasilkan kopi dengan kualitas premium. Di kebunnya yang seluas 70 hektare, misalnya, Yoga menerapkan standar tinggi sejak masa persiapan panen. “Babat semua ilalang karena mereka akan mencuri nutrisi dari tanah yang bisa bikin pohon kopi berbuah tak lebat," dia berujar.
Pohon kopi pun tak luput “dipermak" oleh Yoga. Proses ini dia sebut miwil, yakni Yoga memangkas ranting dan daun pohon kopi agar tak terlalu rimbun. Pohon yang terlalu rimbun justru bisa jadi simalakama lantaran tak terpapar sinar matahari. Bisa-bisa si batang pohon terkena jamur atau virus mematikan.
Setelah urusan pohon selesai, Yoga beralih ke seleksi buah kopi. Dia termasuk rewel soal ini. Pekerjanya dilarang memetik buah yang masih hijau (green bean). Hanya buah kopi merah (red cherry) yang bisa lolos pengolahan buah hingga sortir biji kopi yang ketat (Lihat: “Dari Puncak Gunung ke Cangkir Kopi"). “Saya tak mau kompromi dengan standar kualitas," dia menjelaskan.
Adapun Wulan Pusponegoro, pemilik fasilitas sangrai Kopi Katalis, mengatakan tingginya harga secangkir kopi terjadi karena permintaan yang tinggi terhadap kopi specialty. Tingginya permintaan tak terlepas dari melonjaknya jumlah populasi kelas menengah di Indonesia. “Banyak orang yang punya duit lebih hanya untuk nongkrong dan menikmati kopi," ucapnya.
Wulan, 36 tahun, mengatakan fenomena itu diikuti pergeseran selera penikmat kopi. Bukan kopi yang dicampur krim atau susu lagi yang dicari, melainkan kopi murni yang punya karakter rasa yang unik.
Kopi jenis ini, kata dia, hanya bisa diperoleh dari kebun-kebun yang menerapkan standar tinggi dan ketat seperti yang dilakukan Yoga di Pengalengan. Dan, untuk semua proses itu, memang ada kompensasinya berupa ongkos yang mahal. “Karena kopi yang nikmat tak terjadi dalam sekejap," Wulan menjelaskan.
TIM TEMPO