Jangan Sembarangan Menyeduh Kopi Tubruk Temanggung
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Jumat, 22 April 2016 17:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Aneka alat seduh modern untuk kopi dibiarkan tergeletak di atas meja. Ada Vietnam Drip, V60, Fench Press, juga Moka Pot. Tapi siang itu, Mustofa, 41 tahun, hanya menggunakan coffee kettle, sebuah teko kopi berleher kecil dan melengkung seperti angsa.
Air panas dengan suhu yang telah diturunkan menjadi 87 derajat Celcius pelan-pelan mengucur. Cukup membasahi bubuk kopi Lamsi Arabika asal Temanggung, Jawa Tengah yang baru saja digiling. Tak ada genangan pada gelas plastik berisi kopi itu yang kemudian ditutup.
Setelah menunggu sekitar satu menit, Mustofa menuangkan lagi air panas itu sembari menggerakkan teko ke kiri dan ke kanan dengan pelan. Hingga air mencapai sepertiga, kembali gelas itu ditutupnya. Langkah yang sama diulanginya hingga air mencapai dua pertiga gelas.
Kopi tubruk siap minum dengan aroma khasnya yang menyeruak di stand Kopi Temanggung di acara Jagongan Media Rakyat 2016 di Jogja National Museum (JNM) Yogyakarta, Jumat, 22 April 2016. “Bagaimana pun, membuat kopi tubruk lebih susah ketimbang menyeduh kopi pakai aneka alat,’ kata Mustofa.
Kopi tubruk acapkali ditengarai sebagai cara seduh kopi paling sederhana. Umumnya, bubuk kopi yang ada di dalam gelas tinggal dituangkan air panas yang baru mendidih. Lalu diberi gula sesuai selera kemudian siap diseruput pelan-pelan.
Begitu juga perlakuan Mustofa ketika membuat kopi tubruk saat masih tinggal di tempat asalnya di Surakarta. Dalam sehari, dia memghabiskan 8-9 gelas besar kopi.
Namun sejak pindah ke tempat asal istrinya di Temanggung sejak 1,5 tahun lalu, cara seduh dan kebiasaan minum kopinya berubah. Kini hanya 3-5 gelas kopi dalam sehari.
Selain itu, ada cara yang harus ditempuh untuk menghasilkan kopi tubruk yang nikmat seperti didemonstrasikannya di acara Jagongan Media Rakyat 2016. “Dan kopi tubruk yang enak, ampasnya tidak sampai melayang di atas. Harus mengendap,” tutur Mustofa.
Tak heran, dia menuangkan air dari teko pelan-pelan. Pun bukan air yang baru mendidih dengan suhu 100 derajat celcius. Melainkan air ditunggu hingga suhunya turun agar tidak menghasilkan aroma gosong pada kopi. “Kopi yang sehat tidak pakai gula,” kata Mustofa.
Teknik menyeduh kopi diperoleh Mustofa sejak dia bertani kopi di Temanggung. Dia mengelola lahan seluas dua hektare di Pringsurat, Temanggung. Kopi yang ditanam adalah jenis Excelsa yang biasa disebutnya dengan kopi nangka.
Bersama teman-temannya sesama petani kopi, Mustofa mengikutkan sejumlah kopi Temanggung dalam pameran. Untuk jenis Arabika ada kopi Lamsi, Tlahap, dan Wonotirto. Kopi-kopi itu dihasilkan di 10 dari 20 kecamatan di Temanggung. Sisanya adalah kopi robusta. “Harganya Rp 20 ribu untuk tiap 100 gram,” kata Mustofa.
Namun tak semua orang ingin diributkan dengan aneka cara menyeduh kopi. Tak terkecuali blogger Yogyakarta, Suryaden yang mampir untuk ngopi di stan itu. “Soal cara bisa apa saja. Tapi saya lebih suka menggiling kopi sendiri,” kata Suryaden.
PITO AGUSTIN RUDIANA