Menikmati Festival Horor Tangkeno Suku Tertua di Sulawesi

Jumat, 2 Oktober 2015 10:42 WIB

Suasana pantai Redondo, saat diadakan festival layangan. Layangan sudah dimainkan sejak 4.000 tahun yang lalu, menurut catatan sejarah tertua permainan layangan di Indonesia, berawal dari daerah Pulau Muna, Sulawesi tenggara dengan nama Kaghati, yang terbuat dari daun kolope. California, Amerika, 8 Maret 2015. REUTERS / Lucy Nicholson

TEMPO.CO, Jakarta - Tubuh berbungkus jaket parasut tebal saat kami bersua pagi di Desa Rahadopi. Waktu menunjukkan pukul 07.10. Darman bangun lebih dulu dan berjongkok di sisi perapian tanah. Ia kedinginan. Pemilik rumah menyuguhi kopi plus sepiring kue. Kami sengaja datang untuk Festival Tangkeno 2015, sebuah festival budaya-tradisi dari suku tertua di Sulawesi Tenggara. Festival ini dirangkai Sail Indonesia 2015 yang melayari rute Sail Sagori 2015. Dulu festival ini selalui dihiasi dengan Lumense yang mengorbankan nyawa manusia.

Dari Desa Rahadopi, di ketinggian 680 mdpl, atol Sagori tampak di sisi barat, berjarak 2,5 nautikal mil dari Pantai Kabaena, melengkung sabit bulan berwarna putih dengan laguna biru pekat di tengahnya. Air surut, laut teduh sekali pada awal September ini. Karang Sagori merupakan atol terbesar ketiga di Indonesia dan keempat di dunia.

Saya teringat sejarah kelam di atol Sagori ini. Pada paruh abad ke-17, dunia pelayaran dikejutkan suatu malapetaka-Ternatan Fleet: Bergen op Zoom (jenis yacht, berbobot 300 GT), Luijpaert (yacht, 320 GT), Aechtekercke (yacht, 100 GT), dan De Joffer (fluyt, 480 GT), dikomandoi Tijger (retourschip, 1.000 GT) karam sekaligus di karang ini pada 4 Maret 1650. Armada VOC ini sedang melayari rute Batavia-Ternate melalui Selat Kabaena. Sebanyak 581 orang awak kapal, serdadu, dan saudagar dapat menyelamatkan diri.

Matahari beranjak naik. Menurut informasi, festival akan dibuka pada pukul 10 pagi (2 September 2015). Kami harus bergegas ke Plaza Tangkeno. Motor sewaan kami harus menanjak 5 km hingga di ketinggian 800 mdpl, di pinggang Gunung Sabampolulu. Jalan beraspal dan sedikit pengerasan sebagai bagian dari proyek lingkar Pulau Kabaena.

Cukup mudah mencapai Kabaena. Dari Kota Kendari dan Kota Baubau, Kabaena dicapai melalui darat sebelum menumpang jet-foil atau pelra. Sedangkan dari Bulukumba (Sulawesi Selatan) menggunakan feri via Tanjung Bira. Pun mudah dicapai menggunakan yacht (kapal layar tiang tinggi) atau kapal pesiar yang berlabuh di perairan bagian selatan. Jika kelak resmi sebagai kabupaten, sebuah bandara akan dibangun di utara pulau.

Kurang dari 25 menit, kami tiba di Desa Tangkeno. Kemarau panjang tahun ini mengubah wajah Tangkeno yang hijau menjadi kemerahan dan kering. Angin menerbangkan debu tanah merah ke mana-mana. Suhu naik 34-35 derajat Celsius pada siang hari dan secara ekstrem turun hingga 15 derajat Celsius menjelang sore hingga malam. Kondisi kontras justru tampak di dua desa sebelumnya, Tirongkotua dan Rahadopi, yang dibalut hijau hutan subtropis serta tajuk-tajuk pohon cengkeh.

Di ketinggian Tangkeno, rata-rata kecepatan angin 2 knot dan uniknya mampu menghalau rasa panas di kulit. Kami tak berkeringat saat berada di plaza Tangkeno, di tengah siraman cahaya matahari siang hari. Percayalah, berjalan di plaza Tangkeno pada musim kemarau laksana menapaki separuh jalan menuju matahari.

Kabaena dan sebelas pulau besar-kecil yang mengepungnya bersiap menjadi kabupaten baru, terpisah dari Kabupaten Bombana. Jarak administrasi, luas wilayah, dan kecemasan akibat laju deforestasi karena operasi pertambangan menjadi penyebab utama. Kenyataan itu membuat warga lokal kecewa dan Kedatuan Kabaena marah besar.

"Ada kerapatan adat sebelum penyambutan," Darman berbisik. Baiklah, itu tak ada di run-down acara. Darman menyiapkan kamera dan peralatan rekam. Saya berinteraksi dengan beberapa tokoh adat di sisi Baruga Utama. Petugas penyambut berpakaian adat dan para pementas gelisah karena udara panas. Sebagian sibuk merapikan kostum yang disergap angin.

Darman berlari ke arah Baruga Utama saat orang-orang bergerak ke arah yang sama untuk menyimak sambutan dari Mokole Kedatuan Kabaena. Pada akhir sambutan Mokole, kerapatan adat dimulai dan dihadiri para bonto (pemangku adat), Mokole Kedatuan Keuwia, dan kerabat Kedatuan Lembopari. Kerapatan adat menyetujui acara itu, sekaligus mengundang Bupati Bombana, para peserta Sail Indonesia 2015, dan utusan dari sejumlah kerajaan tetangga (Bone, Wuna, dan Tolaki) ke Baruga Utama. Kedatuan Lembopari juga mengirim utusan karena sedang mempersiapkan mohombuni (penobatan) Mokole baru.

Lembopari, Keuwia, dan Kabaena adalah tiga protektorat Kedatuan Bombana lampau. Kedatuan suku Moronene ini dipecah kepada tiga ahli waris pada masa pemerintahan Nungkulangi (Mokole ke-III Bombana). Dendaengi, Mokole ke-I Bombana, adalah adik Sawerigading, tokoh poros dalam epos La Galigo. Menurut etnolog Dinah Bergink (Belanda), dan Tengku Solichin (Johor), eksistensi suku Moronene dimulai pada sekitar abad ke-5 dan ke-6 Masehi, tapi jejak suku bangsa proto Melayu ini ditemukan melalui hubungan monarkisme dengan Kedatuan Luwu (Sulawesi Selatan) dan moyang mereka di Yunan Selatan.

Demi festival ini Darman rela mengulur waktu penelitian gelar masternya. Bujukan saya ampuh membuatnya meninggalkan lokasi riset. Tahun lalu ia kecewa karena festival dibatalkan saat air Sungai Lakambula membanjiri empat desa di poros utama ke lokasi festival.

Di sisi selatan plaza Tangkeno yang luas itu, tampak sepuluh perempuan bersiap. Di genggaman lima penarinya ada parang nan tajam. Kesepuluh perempuan ini akan menarikan Lumense, tarian tradisi perempuan Kabaena. Lima perempuan berparang tajam itu bergerak cepat saling mengitari dengan penari lainnya. Rampak gerak dalam formasi yang kerap berubah cepat sanggup membuat merinding. Menjelang akhir tarian, mereka menebas sebatang pohon pisang sebagai simbol kekuatan dan pengorbanan. Intensitas gerakan Lumense sedikit menurun saat parang disarungkan dan sepuluh penari melakukan Lulo asli. Lulo asli Kabaena punya 21 varian tarian dengan ritme tabuhan gendang yang berbeda. Namun sejarah tari Lumense memang mengerikan.

Suara musik mengalihkan pandangan semua orang. Kabaena Campo Tangkeno dinyanyikan tujuh biduan dengan iringan alat musik perkusi tradisional, ore'ore. Ketujuh penyanyi memegang alat musik bambu monotonik pelengkap irama ore'ore. Berikutnya, orkestra musik bambu mengalun di depan Baruga Utama, oleh 30 siswa SDN 1 Tirongkotua yang dipandu konduktor. Pertunjukan itu menarik perhatian para tamu asing. Mereka meminta agar orkestra itu diulang dua kali.

Agnes menyempatkan diri menjajal nada ore'ore. Patrick dan istrinya menyapa para siswa orkestra musik bambu dan membagikan flute kepada mereka. Wajah semua orang puas sekali. Gerah mencapai plaza Tangkeno dalam perjalanan ini terbayar dengan apa yang kami saksikan.

Pukul 12 siang, para pemangku adat mengajak tamu ke bawah Laica Ngkoa (rumah adat) Kabaena. Kami dijamu makanan tradisional. Suguhan ikan bakar dan kacang merah bersantan membuat Darman tergila-gila. Ia tambah dua kali.

Seusai jamuan makan, pembukaan festival dilanjutkan tari Lulo-Alu yang eksotik dan ditutup drama-tari kolosal tentang kisah Ratu Indaulu. Mengisahkan fragmen pelayaran Ratu Indaulu dari Tanah Besar menuju Kabaena, menempati Goa Batuburi, hingga istana kerajaan selesai didirikan di Tangkeno. Sendratari berlangsung 12 menit.

Pementasan seni malam harilah yang paling ditunggu. Warga dan sekolah se-Pulau Kabaena berpartisipasi dalam berbagai lomba selama festival: tari tradisi, permainan, hingga sastra lisan Tumburi'Ou (hikayat/dongeng). Festival tahun depan akan menambah cabang sastra lisan: Kada (epos) dan Mo'ohohi (syair). Itu tiga dari lima sastra lisan Kabaena, selain Ka'Olivi (nasihat/amanah) dan Mo'odulele (syair perkabaran).

Kami tak lagi menunggu penutupan festival karena Darman harus kembali ke lokasi risetnya dan saya ditunggu banyak tugas. Kabaena selalu saja memancarkan magisme tradisi yang berkelindan dalam eksotisme alamnya. Suatu keindahan puitik yang memanggil-manggil.

TIM TEMPO

Berita terkait

Teluk Kendari Akan Dikembangkan Seperti Kawasan Wisata Ancol Jakarta

7 Februari 2023

Teluk Kendari Akan Dikembangkan Seperti Kawasan Wisata Ancol Jakarta

Langkah pengembangan Teluk Kendari itu merupakan bagian dari rencana kegiatan strategis mengenai penanganan Teluk Kendari.

Baca Selengkapnya

Hari Nusantara 2022, Mewujudkan Ekonomi Biru untuk Indonesia Lebih Kuat

13 Desember 2022

Hari Nusantara 2022, Mewujudkan Ekonomi Biru untuk Indonesia Lebih Kuat

Hari Nusantara 2022 bertema "Penguatan Ekonomi Maritim Melalui Kolaborasi Investasi Berkelanjutan untuk Indonesia Bangkit Lebih Kuat" dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai ketua pelaksana. Acara ini berlangsung pada 10-14 Desember 2022 di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Baca Selengkapnya

Potensi Wisata Bendungan Ladongi yang Diresmikan Jokowi, Bisa Main Perahu Naga

29 Desember 2021

Potensi Wisata Bendungan Ladongi yang Diresmikan Jokowi, Bisa Main Perahu Naga

Bendungan Ladongi berkapasitas 45,9 juta meter kubik dengan luas lahan 222 hektare.

Baca Selengkapnya

Pesona Pasir Timbul di Buton Tengah yang Raih Penghargaan Destinasi Terpopuler

25 Mei 2021

Pesona Pasir Timbul di Buton Tengah yang Raih Penghargaan Destinasi Terpopuler

Wisata pasir timbul itu merupakan semacam daratan yang timbul di tengah laut.

Baca Selengkapnya

50 Homestay Dibangun di Pulau Labengki Sulawesi Tenggara

25 April 2018

50 Homestay Dibangun di Pulau Labengki Sulawesi Tenggara

Pemerintah Kabupaten Konawe Utara bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia membangun 50 homestay di Pulau Labengki.

Baca Selengkapnya

Dengan Aplikasi Marina Buddies, Turis Diajak Merawat Wakatobi

12 April 2017

Dengan Aplikasi Marina Buddies, Turis Diajak Merawat Wakatobi

WWF-Indonesia mengajak pelaku sektor pariwisata turut aktif mengawasi wilayah konservasi perairan Wakatobi dengan aplikasi Marine Buddies.

Baca Selengkapnya

Dengan Pancing Kedo-Kedo, Suku Bajo Menjaga Kelestarian Laut

11 April 2017

Dengan Pancing Kedo-Kedo, Suku Bajo Menjaga Kelestarian Laut

Nelayan Suku Bajo di Desa Mola, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, tetap menggunakan kedo-kedo.

Baca Selengkapnya

Prancis akan Bangun Akuarium Raksasa di Teluk Kendari

31 Maret 2017

Prancis akan Bangun Akuarium Raksasa di Teluk Kendari

Prancis melalui Pemerintah Kota La Rochelle membantu pemerintah Kota Kendari membangun akuarium raksasa di kawasan Teluk Kendari.

Baca Selengkapnya

Dibuka, Feri Rute Baru di Wakatobi  

27 Februari 2017

Dibuka, Feri Rute Baru di Wakatobi  

Kementerian Perhubungan berencana membuka rute baru kapal feri lintas Wanci-Kaledupa-Tomia-Binongko, Kabupaten Wakatobi.

Baca Selengkapnya

Ada Wahana Wisata Di Kompleks Pemrosesan Sampah

2 Januari 2017

Ada Wahana Wisata Di Kompleks Pemrosesan Sampah

Untuk mengubah stigma bahwa TPA sampah itu selalu identik dengan
kotor, busuk, dan lain sebagainya.

Baca Selengkapnya