Wisatawan menikmati pemandangan dari atas bukit di Stone Garden Geopark, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Bandung, 14 Mei 2015. Taman ini menyajikan panorama bukit dengan hamparan batu yang indah. TEMPO/Frannoto
TEMPO.CO, Bandung - Pengelola Kawasan Konservasi Gunung Masigit-Kareumbi memberlakukan uang deposit atau jaminan bagi para pengunjung agar tak sembarangan membuang sampah. Sebelum pulang, lokasi pengunjung yang berkemah, misalnya, akan diperiksa petugas. “Kalau masih kotor, mau hilang uang atau balik lagi bersihin dulu,” ujar Wakil Direktur Pengelola Kawasan Konservasi Masigit-Kareumbi Darmanto.
Uang deposit itu diberikan pengunjung sambil membayar uang tiket masuk ke kawasan. Tiket masuk per orang ke kawasan ini Rp 8.500 pada hari kerja dan Rp 11.250 saat akhir pekan, Jumat-Ahad. Pengunjung yang datang per orang atau kelompok kecil akan dikenai biaya tambahan untuk deposito kebersihan sebesar Rp 15-200 ribu.
Untuk rombongan besar, uang deposito kebersihannya Rp 500 ribu. Uang itu bisa diambil lagi saat pulang setelah petugas menyatakan tempat yang ditempati pengunjung benar terjaga kebersihannya. Sebelum pulang, sekitar 60 peserta jelajah geotrek Mata Bumi dari Bandung, misalnya, melakukan operasi semut dan memastikan semua sampah terkumpul di kantong besar atau bak sampah.
Tempat berkemah di camping ground, ujar Darmanto, tidak dikenai tarif sesuai dengan ketentuan. Hanya pengelola minta uang donasi Rp 15 ribu untuk membayar relawan pekerja. “Kami kan tidak dikasih gaji dari negara,” ucapnya. Sebagian dari uang pengunjung itu dibagi ke warga sekitar kawasan yang rumahnya dilintasi kendaraan pengunjung.
Saat Tempo bertandang awal Agustus lalu, kondisi sekitar area berkemah di lereng Gunung Kareumbi terlihat resik dari sampah kemasan makanan dan minuman. Djuandi Gandi, dosen dan peneliti tanaman sekaligus kurator dari Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, juga mengingatkan agar biji buah yang dimakan pengunjung tidak sembarangan dibuang ke tanah. “Agar habitat vegetasi hutan tetap asli,” ujarnya.