Perang Tomat Lembang, Ritual Buang Kebusukan Hati
Editor
Eni Saeni
Senin, 18 November 2013 16:23 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Awan mendung menggelayut di langit Lembang, Kabupaten Bandung. Wajah-wajah di balik tameng siap bertempur. Buah tomat di genggaman tangan siap dilempar. Begitu lenggak-lenggok sejumlah gadis penari dan pria pembawa tandu jampana selesai, seketika itu ratusan buah tomat meluncur di udara menghujam dua kubu yang "berseteru".
Warga pun bersorak, baju peserta perang tomat belepotan dan jalan pun memerah. Awalnya kedua kubu saling melempar tomat dari jarak jauh. Lama-lama mereka saling mendekat. Sekitar satu ton tomat afkiran alias tomat yang mulai busuk dan tidak laku dijual itu langsung tandas dalam waktu 15 menit saja.
Perang tomat yang sering kita lihat di Spanyol inilah yang sangat ditunggu warga. Perang tomat ini menjadi ritual Hajat Buruan yang diakhiri dengan Rempug Tarung Adu Tomat di Kampung Cikareumbi, Desa Cikidang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis, 14 November 2013 lalu. "Tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun dari leluhur kami," kata Abah Oyot, sesepuh warga setempat.
Kepala Desa Cikidang, Ahmad, mengatakan tomat yang dipakai untuk perang adalah tomat busuk. Maknanya agar semua keburukan atau kebusukan hati manusia dibuang jauh-jauh dan dihancurkan. "Mudah-mudahan dengan hati yang bersih semua kebaikan dan kesuburan di kampung kami terus terjaga,” kata Ahmad.
Petani setempat, Marna, 60 tahun, mengatakan perang tomat yang merupakan tradisi leluhur dilakukan karena hasil panen yang melimpah. Harga yang jatuh dari Rp 8000 per kilogram saat panen bisa Rp 1000 per kilogram. "Jadi mending tomat yang harganya anjlok itu kita pakai untuk merayakan tradisi perang tomat dan menjaga kebersamaan di antara petani," ujarnya.
Selama acara, suasana kampung meriah. Di sisi kanan kiri jalan dari mulai gapura kampung sampai panggung utama dihiasi bentangan tali dengan untaian segala jenis makanan ringan. Anak-anak selalu menunggu perang tomat usai karena mereka bisa mengambil semua jenis makanan yang digantung di sepanjang jalan kampung itu.
Sebelum prosesi perang tomat dimulai, para tetua adat dan warga menggelar upacara di mata air di Gunung Hejo, upacara hasil bumi. Mengambil air di mata air itu dan menuangkannya ke dalam teko, bejana, hingga botol plastik. Para tetua adat mendaraskan doa-doa keselamatan bumi. Lalu ada arak-arakan jampana, mengarak hasil bumi seperti sayur-mayur dan padi dengan hasil bumi sendiri. Ratusan warga mengiringi arak-arakan yang dimeriahkan juga oleh aksi kesenian badawang dan sisingaan.
“Acara ini menarik, tradisi yang harus terus dijaga dan dilestarikan," kata Kiki dan Dinda, siswa SMK yang peserta ritual adat yang menjadi penari dalam acara tersebut.
Seniman dan budayawan Mas Nanu Muda mengatakan, perang tomat menjadi bentuk pengembangan dari tradisi Hajat Buruan yang baru berjalan sejak dua tahun terakhir. Kini perang tomat menjadi ciri dari prosesi Hajat Buruan di Cikidang. "Ritual perang tomat seperti halnya prosesi sedekah bumi merupakan bentuk rasa syukur masyarakat agraris di Indonesia, khususnya di Jawa, yang terkait dengan panen melimbah dan tanah yang subur," ujarnya.
Sayang keunikan, kegembiraan, dan kemeriahan tradisi yang berlangsung setahun sekali setiap bulan Muharram ini ternoda oleh kampanye terselubung. Sejumlah calon legislatif yang hadir menyebut-nyebut nama diri dan nomor urut mereka di atas panggung. Padahal, ritual perang tomat itu tak ada hubungannya dengan politik.
PRIMA MULIA | ENI S