Kiat Singapura Melestarikan Kuliner Kaki Lima yang Nyaris Punah
Reporter
Terjemahan
Editor
Ludhy Cahyana
Minggu, 1 September 2019 08:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Jam makan siang di perkantoran Singapura adalah waktu untuk tergesa-gesa sekaligus menghibur diri. Kenikmatan makan siang adalah jeda yang istimewa. Para eksekutif di jantung Kawasan Pusat Bisnis Singapura, berarak menuju Amoy Street Hawker Centre – pusat jajanan kaki lima populer di Singapura.
Di sana, mereka menunggu dalam antrian mengular di deretan kios-kios. Masing-masing kios menjajakan satu hidangan khusus. Menukil Atlas Obscura, kios-kios kaki lima itu menjajakan char siew (babi panggang Kanton) hingga rujak. Aroma sedap rempah-rempah menggelitik hidung, yang berasal dari rempah-rempah, bawang putih goreng, dan daging berkaramel bercampur dengan aroma kopi tarik.
Suasana gaduh pusat kuliner kaki lima itu membentuk orkestra dengan melodi perbincangan, suara mie diaduk, dan pisau yang merajang daging dengan tergesa-gesa.
Singapura sering digambarkan sebagai surga makanan, dan pusat jajanannya, yang jumlahnya lebih dari 100. Negara kota ini memang demokratis dalam urusan kuliner. Hidangan kaki limanya populasi: Tionghoa, Melayu, dan India. Kota yang serba mahal itu, menawarkan sepiring nasi tim ayam seharga sekitar $ 3 – harga yang paling terjangkau, mudah diakses, dan lezat.
Namun Singapura menghadapi masalah besar dalam kulinernya. Meskipun produsen dan konsumennya adalah penduduk asli Singapura, kuliner negeri itu menghadapi kepunahan. Padahal kuliner adalah bagian penting dari budaya dan identitas lokal. Pembuat kuliner tradisional banyak yang memasuki usia senja, dan pensiun tanpa menyerahkan pengetahuan dan keterampilan mereka kepada seorang penerus.
Hawking atau pedagang kuliner kaki lima pertama kali menjadi pilihan profesi yang populer pada 1950-an dan 1960-an. Selama tahun-tahun pasca-perang Singapura, karena bisnid dagang kaki lima itu menyediakan lapangan kerja informal bagi penduduk – saat pekerjaan langka dan kota itu masih miskin. Pada akhir 1960-an, sekitar 24.000 pedagang asongan, yang menjual makanan jalanan yang enak dan terjangkau, memberi makan populasi 1,7 juta.
Tetapi meluasnya kaki lima yang tidak diatur menyebabkan masalah kebersihan dan kemacetan. Penjaja menjelajah ruang dan jalan terbuka, menjual barang-barang buatan sendiri. Kombinasi beragam persembahan — tempe Jawa, kongsi Kanton, bubur Teochew — yang dapat diperoleh secara instan menjadikannya populer. Momentum merapikan pedagang kuliner kaki lima pada era itu, terjadi saat Pasar Ellenborough (Pasar Teochew) terbakar hebat pada 1968, plus kasus keracunan makanan yang kerap terjadi.
<!--more-->Pemerintah campur tangan, mengelompokkan pedagang asongan di wet market yang ditunjuk, atau pasar dalam bahasa Melayu. Bangunan terbuka, dengan kios-kios individual dan dilengkapi area duduk – yang kini dikenal sebagai pusat jajanan. Pada pertengahan 1980-an, sekitar 140 pusat jajanan di Singapura telah menjadi sebuah institusi. Jumlah pedagang asongan terus bertambah, mengikuti kemasyhuran mereka.
Pada tahun 2016, nasi ayam kedelai Chan Hon Meng, yang harganya kurang dari $3, membuatnya diganjar bintang Michelin. Tetapi tanyakan kepada orang Singapura, dan mereka dengan senang hati akan berdebat tentang kios mana yang menjual hokkien mee atau laksa terbaik.
Ketika kuliner Singapura pertama kali dikembangkan, kota ini sedang berevolusi dari pusat manufaktur ke kota kosmopolitan. Pertumbuhan yang pesat selama puluhan tahun telah menciptakan para miliarder. Hal itu membuat keberadaan makanan berkelas dunia seharga $3 sebagai keajaiban kecil. Harga-harga kuliner melangit akibat status sosial yang naik menjadi ancaman punahnya makanan murah namun lezat.
Satu ancaman besar bagi pedagang kaki lima di Singapura adalah persaingan dengan pusat makanan di mal — meskipun penawaran mereka kurang menarik. Tidak seperti di pusat jajanan kaki lima, makanan di mal dimasak oleh pemilik kios waralaba, staf food court, pekerja sementara, dan mereka hanya diberi sedikit kesempatan pelatihan.
Namun pengunjung mal bisa bersantap dengan nyaman, karana suasana dan hawa yang bersahabat – berbeda dengan di kaki lima yang terpapar cuaca lembab Singapura yang khas. Pusat perbelanjaan dikuratori untuk kenyamanan dan kemudahan — seseorang dapat berbelanja bahan makanan, menikmati kopi sore, dan menemukan fusion burrito, semuanya di bawah satu atap yang kesejukannya diatur sedemikian rupa.
Selain mal, tantangan kuliner jalanan Singapura adalah semakin sedikit koki tradisional yang berdagang, karena mahalnya sewa lahan. Hal ini membuat para koki-koki baru harus bersaing dengan veteran – menikmati sewa lebih murah karena konpensasi dari penggusuran pasar tradisional pada 1960-an. Selain itu aturan kerja yang ketat membuat generasi muda tak terbiasa dengan jam kerja yang panjang, tuntutan fisik, dan upah yang mereka anggap minim.
Langkah Pelestarian
Roti berselai srikaya yang harum, kian memuncak rasa lezatnya ketika dipanggang. Harum mewangi roti bakar bercampur dengan aroma pandan memang luar biasa. Inilah fenomena luar biasa setiap pagi di kedai kopi Ah Seng Hainam. Kedai kopi itu sudah lama jadi ikon di Amoy Street Hawker Centre. Warga setempat telah menyajikan sarapan lokal bergaya Hainan sejak tahun 1950-an, dengan menu roti panggang srikaya, dua telur rebus, dan kopi Nanyang. Setelah 60 tahun, pemiliknya Wong Ah Loke masih bersikeras membuat sarapan dengan cara tradisional.
Dia dan istrinya ke warung pukul 04.00 setiap hari untuk menyalakan api arang, menggunakan bara api untuk menghangatkan roti bakar dan menghangatkan cerek kopi. Meskipun mereka tidak lagi memanggang biji kopi lagi, namun mereka masih membuat selai srikaya dengan mencampur santan, telur, gula, dan daun pandan -- untuk membuat selai hijau yang khas. Bersamaan dengan sentuhan lain, seperti bara arang, dan biji kopi robusta yang disangrai dengan campuran margarin, gula, dan jagung. Para pelanggan jatuh hati dengan selai dan kopi racikan mereka.
Mereka adalah veteran yang melestarikan kuliner tradisional Singapura. Sementara aturan berdagang dan minimnya generasi penerus membuat jajanan khas Singapura terancam punah. KF Seetoh, pendiri Makansutra, menyesalkan bahwa pedagang asongan baru sulit ditemukan, sedikit dan jarang, “Sudah beberapa hidangan, seperti loh kai yik Kanton (sayap ayam rebus) dan yi buah Hainan (ketan manis) kue beras dengan isi kelapa, dalam bahaya sekarat,” ujarnya.
"Lebih banyak makanan akan hilang saat keterampilan hilang," kata Seetoh, yang mencatat bahwa pedagang asongan ingin menjual apa yang mudah, dengan fokus pada kuantitas daripada kualitas. "Ini tentang bisnis hari ini, bukan dedikasi dan semangat," imbuhnya lagi.
Pemerintah Singapura sadar akan ancaman terhadap budaya jajanan itu. Awal tahun 2019, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, mengumumkan tawaran untuk menjadikan pusat jajanan sebagai tempat warisan budaya yang dilindungi di bawah UNESCO. Inisiatif lain bertujuan untuk mendidik generasi muda dan menarik mereka ke perdagangan jajanan. Pemerintah Singapura juga mewacanakan model manajemen yang mengurangi biaya untuk modal dan berorientasi pada peran mereka untuk menyediakan makanan yang terjangkau bagi publik.
Wong optimistik bahwa generasi masa depan akan melanjutkan tradisi mereka – termasuk kuiner kaki lima. Mereka akan melestarikan tradisi tersebut, meskipun dengan cara yang lain untuk beradaptasi dengan zaman.