Jamasan Pentongan Menghargai Tradisi Komunikasi Masa Lalu

Rabu, 14 Agustus 2019 17:08 WIB

Masyarakat Desa Pesanggrahan Kota Batu, menggelar ritual Jamasan Pentongan untuk melestarikan alat komunikasi masa lalu. TEMPO/Eko WIdianto

TEMPO.CO, Jakarta - Kentungan di pedesaan di Jawa, merupakan alat komunikasi. Segala pengumuman dan kebijakan disampaikan pejabat kelurahan, didahului dengan memukul kentungan agar warga berkumpul.

Aktivitas dan tradisi ini ditelan zaman. Alat-alat komunikasi canggih melenyapkan budaya kentungan ini. Namun warga Desa Pesanggrahan Kota Batu, meski tak lagi menggunakan kentung atau pentongan, tetap menggelar tradisi jamasan pentongan.

Jamasan adalah ritual memandikan kentung untuk melestarikan alat komunikasi utama pada masa lampau. Kini, kentung memang tak lagi berbunyi nyaring di Pesanggrahan -- yang kadang selalu mendatangkan rasa penasaran di masa lalu.

Pesanggrahan memiliki lima kentung yang terawat dan berfungsi sampai saat ini. Kentungan biasanya digunakan untuk penanda waktu atau sandi untuk menyampaikan bencana alam, maling dan sebagainya. Ritual diselenggarakan selain untuk melestarikan budaya, sekaligus menarik wisata. Sehingga bakal dijadikan agenda tahunan.

Jamasan tersebut diselenggarakan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang bekerja sama dengan Lembaga Kebudayaan Desa Pesanggrahan, AKUR Hakarya Budaya. Prosesi ini sekaligus sebagai pra-acara menjelang selamatan desa Pesanggarahan pekan depan.

Advertising
Advertising

“Pentongan tahun 1990-an masih berfungsi sebagai alat komunikasi masyarakat Jawa dan Nusantara. Serta memiliki makna filosofis,” kata Juru bicara mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Sely Mariatur Rohmah, Rabu (14/8).

Dalam prosesi ritual jamasan, pentongan dibungkus kain putih. Setelah berbalut kain kafan pentongan dimandikan dengan doa yang dirapal dalam bahasa Jawa krama inggil. Doa dipimpin budayawan setempat Ki Gendeng Sunarto. Beserta sesaji berupa pisang, bunga tujuh rupa, bubur atau jenang sengkala untuk tolak bala. Serta dimandikan dengan air yang diambil dari tujuh sumber.

Ritual dilangsungkan di rumah Wiryo Wisastro, seorang Kepala Desa Pesanggrahan pada 1945 sampai 1960. Para sesepuh desa menjelaskan pentongan merupakan penggambaran pejabat atau tokoh masyarakat, yang memegang dan memberikan suara kebijakan. Sedangkan rakyat disimbolkan sebagai pemukul pentongan agar mengeluarkan suara yang bijaksana.

Ki Gendeng Sunarto membacakan doa untuk ritual jamasan Pentongan. TEMPO/Eko Widianto

Ki Gendeng Sunarto mengatakan pentongan juga diibaratkan sebagai sosok manusia. Terdiri atas lubang tengah berbentuk persegi panjang, bulat, oval. Masyaarakat mengistilahkan sebagai cangkem atau mulut. Sedangkan bagian utuh pentongan adalah weteng atau perut. Sedangkan bentuk lingkaran atas untuk mengikat pentongan dikiaskan sebagai sirah atau kepala.

“Ada nilai kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan relijius,” katanya. Usai jamasan pentongan diarah keliling Pesanggrahan. Selama prosesi, mereka mengenakan pakaian tradisional. Lelaki mengenakan blangkon dan beskap. Sedangkan perempuan mengenakan kebaya dan kain jarik. EKO WIDIANTO

Berita terkait

Berita terkait tidak ada