Menyusuri Katong, Saksi Bisu Sejarah Peranakan Kuno di Singapura
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ludhy Cahyana
Senin, 22 Juli 2019 14:02 WIB
Di sudut lain tampak sebuah tempat tidur lengkap dengan guling-guling mininya. Set tempat tidur itu adalah set untuk pernikahan. Hal yang menandainya adalah adanya uliran tulisan shuangxi yang berarti kebahagiaan ganda.
Di galeri seni itu pengunjung dapat membeli oleh-oleh. Misalnya kalung batu giok, dompet dan sepatu manik-manik. Ada pula aksesoris mungil untuk pajangan.
Dari lorong yang menghubungkan Rumah Kim Choo dengan rumah-rumah lainnya, waktu seolah berhenti. Kenangan dari masa lampau tampak sangat hidup. Tak ada bentuk yang berubah kecuali warna cat yang memudar. Kesan klasik pun mendominasi.
Lorong-lorong di kawasan Rumah Kim Choo itu sempat naik daun lantaran dipopulerkan film Crazy Rich Asian sebagai lokasi syuting. Dalam scene film itu, Michelle Yeoh yang digambarkan sebagai salah satu orang terkaya di Singapur tampak berjalan-jalan di kawasan pecinan ini.
Bergerak ke sisi lain Katong, Anthony mengajak tetamunya menyusuri persimpangan Joo Chiat; menyaksikan matahari pelan-pelan mulai lesap; dan melihat burung-burung bergerak dari satu atap ke atap lain. Di titik itu, perjalanan tur kami telah mencapai setengah durasi.
Sambil beristirahat, Anthony mengajak turis mencicipi roti prata alias cane. Di salah satu rumah makan Melayu yang buka 24 jam, kami diberi hidangan roti khas India dengan dua macam kari, yakni kari ikan dan kambing. Teh tarik turut disajikan sebagai pelengkapnya.
Dari restoran Melayu itu, tersirat bahwa Singapura dihuni tiga etnis besar, yakni Cina, Melayu, dan Thamel. Seluruhnya hidup berdampingan dan menghasilkan budaya yang berlain-lainan.
Etape berikutnya pada setengah perjalanan kedua, kami menyambangi kawasan rumah-rumah unik peranakan di Joo Chiat. Kawasan ini konon terkenal bagi para wisatawan atau muda-mudi untuk berfoto. Deretan rumah-rumah itu memiliki warna yang berbeda-beda. Tampak seperti rumah berdinding warna-warni bak di Eropa.
Sedangkan gaya rumah orang peranakan tersebut dipengaruhi campuran gaya Cina, Eropa, dan Melayu. Pintu rumah-rumah ini bersayap dua dengan lantai keramik motif bebungaan. Sedangkan dinding hingga konstruksi rumah amat menampilkan bangunan masa kolonial. Rumah ini kini menjadi rumah toko dan masih ditempati para pemiliknya, meski telah bagian dari cagar budaya.
Setelah lebih dari 4 jam berjalan kaki, tur kelar. Penutup tur kami ditandai dengan menyantap menu Melayu, yakni kue putu. Ada yang berbeda dengan kue putu di Singapura karena bentuknya pipih tak seperti di Indonesia.
Teksturnya pun lebih padat dan mengenyangkan. Lantaran tur berdurasi cukup lama, turis yang ingin ikut bergabung disarankan memakai sepatu yang nyaman untuk jalan kaki. Adapun untuk mengikuti tur ini, wisatawan dapat memesan jadwal di laman Things to Do milik Agoda.