Menyusuri Katong, Saksi Bisu Sejarah Peranakan Kuno di Singapura
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ludhy Cahyana
Senin, 22 Juli 2019 14:02 WIB
Kata Anthony, orang-orang penting suka dengan resep sang pemilik restoran. Benar saja, ketika Tempo menjajalnya, rasa Katong Laksa ini memang istimewa. Bumbu kuning yang merupakan perpaduan santan dan kunyit terasa sangat pas: gurih, lagi mlekoh. Katong ini pun memiliki komplemen utama berupa mi, tempura ikan, dan udang.
Perut sudah kenyang, Anthony lalu mengajak tetamunya berjalan kaki. Tujuan pertama setelah berkuliner adalah menyambangi rumah budaya bernama Rumah Kim Choo. Rumah Kim Choo terdiri atas dua bagian. Rumah pertama menyediakan kuliner jajanan pasar khas peranakan. Sedangkan rumah kedua adalah galeri serta museum mini.
Dalam tur itu, turis lebih dulu diajak menyambangi rumah yang menyedikan jajanan pasar. Tampak beragam jenis kudapan khas peranakan dipajang dalam etalase kala itu. Namun, hampir semuanya seragam dengan kudapan khas pecinan yang ada di Indonesia. Misalnya kuecang, bakcang, dadar gulung, hingga lapis.
Anthony menawari tetamunya memilih penganan. Kuliner-kuliner yang dijajal dalam tur tersebut merupakan fasilitas. Lantaran telah menyantap laksa sebelumnya, peserta tur memilih hanya menjajal dadar gulung—yang rasa dan penampakannya mirip dengan yang ada di Indonesia.
Kelar urusan camilan, tur itu dilanjutkan dengan mengunjungi galeri serta museum. Rumah Kim Choo yang menyimpan barang-barang bikinan tangan itu terdiri atas dua lantai. Lantai pertama menampilkan handycraft atau suvenir khas peranakan. Sedangkan lantai dua menampilkan diorama sejarah kecil perjalanan peranakan di Singapura.
Kedua lantai itu dipisahkan tangga kayu. Di dinding-dinding dekat tangga, pengunjung dapat melihat puluhan hasil karya manik-manik dengan detail yang tak sembarangan. Menurut Anthony, orang-orang Peranakan suka mengeksplorasi seni kerajinan. Karya-karya seni mereka juga menggambarkan keceriaan lantaran warnanya sarat rona cerah, seperti merah, kuning, biru, dan hijau.
“Seni di sini adalah percampuran, bukan hanya Cina, tapi juga campuran budaya Melayu dan Eropa,” ucap Anthony. Karena itu di museum, pengunjung akan mudah menjumpai barang-barang bergaya Indonesia seperti kebaya pekalongan.