Menyelamatkan Suku Truku Si Pemenggal Kepala dari Taiwan
Reporter
Nur Alfiyah
Editor
Ludhy Cahyana
Senin, 22 Juli 2019 11:36 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tinggal di kawasan pegunungan di Desa Taroko, Daerah Bruwan, di Provinsi Hualien sekitar 150 km di timur Taipei, Suku Truku mengalami marjinalisasi yang berat usai wilayahnya menjadi taman nasional.
Penetapan kawasan Taroko, menjadi taman nasional pada 28 November l986 mencakup lebih dari 92 ribu hectare. Harapannya, dengan menjadikan kawasan taman nasional, pemerintah dapat melindungi alam, peninggalan bersejarah, margasatwa; serta melestarikan sumber daya alam dan tempat penelitian.
Sebelum penetapan sebagai taman nasional, mereka dipindah pinggiran pegunungan di sekitar taman nasional.
Namun Suku Truku yang hidup berburu menjadi terasing, karena larangan perburuan. Sebagai pengganti mata pencarian mereka, pemerintah Taiwan mempekerjakan mereka di pabrik-pabrik. Tak berbudaya industri, mereka kerap mengalami kecelakaan kerja. Frustasi dengan kehidupan baru, mereka melarikan diri ke arak.
Kemiskinan makin memperihatinkan, karena saban tahun mereka harus berhadapan dengan badai yang rutin datang dari Samudera Pasifik. Rumah-rumah orang Truku yang rusak jadi komoditas perdagangan manusia.
Para pengusaha nakal menawari mereka kembali membangun rumah. Barternya adalah anak perempuan mereka. Satu tingkat rumah diganti satu anak perempuan. Dua tingkat rumah, berarti menyerahkan dua anak perempuan.
Pengangguran yang meningkat membuat mereka hidup miskin bahkan menjual anak gadisnya. Zheng Ming Gang, prihatin. Ia ingin mengangkat martabat Suku Truku. Ia pun mendirikan sebuah ekowisata berbasis budaya.
Zheng, yang bukan asli orang Truku, gerah terhadap kondisi itu. Ia mengajukan izin ke pemerintah untuk mendirikan hotel di Taroko. Berdirilah Taroko Village Hotel di lembah Central Mountain Range yang mereka kelola itu sejak 15 tahun lalu, “Pekerja di hotel ini semuanya orang Truku. Ada yang mesti berjalan kaki 1,5 jam, mendaki dua gunung untuk sampai ke sini,” kata Zheng.
Ia menggandeng orang-orang suku Truku untuk mengelola penginapan tersebut. Mereka merogoh kocek NT$ 6 juta per tahun (sekitar Rp 2,72 miliar) untuk membayar sewa tanah.
Kata Zheng, di hotel yang mereka dirikan inilah, dulu suku Truku tinggal. Tempatnya berupa lembah di kaki Central Mountain Range, pegunungan yang memisahkan Taiwan bagian timur dan barat. "Tapi kemudian disuruh pergi karena tempat ini menjadi taman nasional," ujarnya.
Kamar-kamarnya berupa rumah panggung yang dibangun dari kayu, seperti rumah suku Truku, tapi dibuat lebih modern. Kunci kamarnya digantungi pahatan kayu berwujud pisau. “Dalam tradisi kami, sebelum tidur kami menggantungkannya di tembok, untuk mengusir sesuatu yang tidak baik,” kata Zheng.
Di beberapa sudut halaman berdiri patung dari kayu yang dipahat kasar. Ada patung dua orang yang sedang memanggul babi, patung perempuan menggendong bayi, lelaki yang sedang memanah, dan pria yang membawa senjata.
Untuk makan, mereka menyajikan daging babi liar, panggangan ubi, dan salad sayuran liar yang biasa dikonsumsi orang Truku. Bagi muslim, ada pilihan steak daging sapi atau iga domba bakar untuk makan malam.
Ketika malam datang, mereka mengadakan pertunjukan tari, musik, dan cerita tentang masyarakat suku mereka. “Kalau langitnya bagus, sajian terakhir kami adalah mengajak tamu tiduran di lapangan, menikmati bintang. Sayang, kali ini langit mendung,” tutur Zheng.
Perjuangan Zheng tak sia-sia. Ia berhasil membangun destinasi wisata yang menyelamatkan Suku Truku. Meski bukan asli Truku, ia diangkat sebagai kepala suku. Kini, mereka bisa hidup normal meskipun tak lagi berburu atau memenggal kepala. Namun hidup dari sector pariwisata.
<!--more-->Mengenal Taman Nasional Taroko
Taman Nasional Taroko adalah salah satu destinasi wisata favorit di Taiwan, terletak di ngarai sepanjang 19 kilometer. Central Mountain Range, yang menjalar di daerah ini, berbeda dari tempat lain.
Pegunungan di area Taroko berasal dari batu marmer yang terbentuk ribuan tahun lalu. Sungai Liwu yang mengalir pun berwarna kelabu sampai biru cerah, memuat mineral marmer dari gunung. Tempat ini juga menjadi sumber giok Taiwan. Dulu, pegunungan ini hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Pemerintah Taiwan mulai membangun jalan dengan menembus gunung marmer tersebut pada Juli 1956. Dari Taroko, jalannya membentang ke barat sepanjang 192 kilometer sampai ke Provinsi Dongshi. Sekitar 5.000-6.000 pekerja membangun jalan ini setiap hari.
Mereka membolongi marmer menggunakan peralatan tradisional dengan tangan. Pekerjaan ini selesai pada Mei 1960. Jalan yang dibangun tersebut menjadi salah satu jalan paling berbahaya di dunia. Sebab, jalannya sangat sempit—beberapa ruas hanya bisa dilintasi satu kendaraan—dan berliku menembus gunung.
Selama proses pengerjaan itu, 226 pekerja meninggal. Pemerintah membuatkan kuil Eternal Spring Shrine yang dibangun di atas air terjun kecil yang sangat bersih untuk mengenang mereka. Kuil dan air terjunnya bisa dinikmati dari kejauhan. Namun, bagi yang ingin melihat langsung dan berdoa, ada jalan setapak sejauh 3,4 kilometer yang melewati kuil itu.
Di taman nasional ini juga ada Yanzikou (Swallow Grotto), lorong di tepi jurang yang dibiarkan berpahat kasar. Dinamakan Swallow Grotto karena banyak burung walet sering terlihat di sini. Kotorannya masih terlihat di aspal di bawah langit-langit marmer yang bercelah. Namun, karena lokasi ini sering dikunjungi wisatawan, populasi walet berkurang banyak. “Sebagian besar dari mereka minggat,” kata Chang Wei Lin, pemandu wisata yang mengantarkan kami ke sana.
Cara ke Taman Nasional Taroko
Dari Taipei
Bisa ditempuh menggunakan kereta dari Stasiun Taipei, turun di Stasiun Xincheng. Ada dua pilihan kereta: kereta cepat Puyuma yang memakan waktu sekitar dua jam seharga NT$ 403 (sekitar Rp 183 ribu) atau kereta lambat dengan waktu tempuh 2 jam 41 menit dengan harga NT$ 311 (sekitar Rp 141 ribu). Dilanjutkan naik bus 302 dari Stasiun Xincheng ke Taman Nasional Taroko. Harga tiket sehari NT$ 150 (sekitar Rp 68 ribu).
Dari Hualien
Ada bus umum 1126, 1141, dan 1133 yang melewati Taroko dan bus 1133A yang khusus mengantar-jemput ke Taroko. Semuanya berangkat dari Stasiun Hualien.
Bus 1126, berangkat pukul 06.30
Bus 1141, berangkat pukul 08.40
Bus 1133, berangkat pukul 10.50 dan 13.50
Bus 1133A, datang setiap jam dari pukul 07.00 hingga sore hari
Harga tiket bus untuk sehari: NT$ 250 (sekitar Rp 113 ribu)
Harga tiket untuk dua hari: NT$ 400 (sekitar Rp 181 ribu)