Menyusuri Kerajaan Bekantan di Kawasan Konservasi Tarakan
Reporter
Antara
Editor
Tulus Wijanarko
Sabtu, 24 November 2018 19:12 WIB
TEMPO.CO, Tarakan - Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) di Tarakan, Kalimantan Utara dinilai memiliki potensi besar menjadi obyek wisata andalan karena letaknya yang sangat mudah dijangkau. Objek wanawisata pesisir itu terletak di Jalan Gajahmada, Tarakan, dan hanya butuh 10 menit dari Hotel Segiri atau sekitar 20 menit jalan kaki dari Swiss-Belhote .
Any, salah seorang mahasiswi di Tarakan, mengaku bangga dengan wanawisata mangrove dan bekantan yang dibangun sejak 2001 tersebut. "Kawasan ini sudah dikenal luas, terbukti banyak tamu dari berbagai negara yang sudah berkunjung ke tempat itu," kata dia di Tarakan, Sabtu, 24/11.
KKMB boleh dikata menjadi “istana” bekantan di daerah tersebut. Berdasar data, populasi bekantan di kawasan konservasi seluas 22 hektare itu adalah 59 ekor, dan mereka terbagi atas dua kelompok besar. Masing-masing dipimpin bekantan besar yang disebut “John” dan “Michel”.
Bekantan tersebar dan endemik di hutan bakau, rawa, dan hutan pantai di Pulau Borneo (Kalimantan, Sabah, Serawak, dan Brunei). Bekantan menghabiskan sebagian waktunya di atas pohon dan hidup dalam kelompok-kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 32 ekor.
Nah, agar para bekantan di kawasan konservasi itu tak keluar dari habitatnya, saban hari KKMB memberi mereka makanan pisang cukup banyak. Setiap hari sekitar 10.00 Wita, seorang petugas menyiapkan beberapa tandan pisang dan membawanya dengan gerobak menyelusuri jembatan ulin yang membelah kerimbunan hutan mangrove.
Setelah beberapa puluh meter membawa gerobak dari gudang makanan itu, muatan itu dibongkar dan dipindahkan ke sebuah bangunan mirip altar terbuat dari papan ulin. Itulah meja makan para bekantan penghuni hutan mangrove.
Menu pisang itu sesungguhnya hanya makanan suplemen. Tujuannya agar bekantan tidak liar atau keluar dari kawasan konservasi di tengah kota itu. Tanpa pisang, bekantan tetap tidak kekurangan pakan selama hutan mangrove terjaga karena makanan utama sesungguhnya adalah pucuk daun serta buah pohon bakau.
Kawasan ini di pesisir ini dilengkapi gazebo, jembatan ulin keliling lingkungan, dan sebagian sudah dibangun jembatan permanen dari beton. Dengan menyelusuri jembatan itu jika beruntung bisa melihat biawak dan berbagai jenis burung laut atau yang habitatnya di pohon bakau.
Any menyarankan agar pengelola menambah beberapa fasilitas lagi, misalnya tiolet, tempat sampah, halaman parkir, serta layanan Wifi.
Dia juga menunjuk sebagian jembatan ulin sudah lapuk atau titik tidak meniliki papan lagi. Selain licin, kondisi papan yang lapuk dan bolong-bolong itu membahayakan bagi pengunjung.
Beberapa anak kecil tampak mendapat peringatan dari orang tuanya karena terpeleset saat lari-lari di jembatan ulin yang licin dan lembab. Di sini cahaya matahari terhalang rimbunnya dedaunan mangrove.
ANTARA