Mantra-mantra Alam 5 Ranu Pemikat Hati dari Lumajang

Kamis, 8 November 2018 14:39 WIB

Pemandangan kawasan Ranukumbolo yang dipenuhi tenda para pendaki, selain berkemah tidak sedikit dari pendaki yang memanfaatkan danau Ranukumbolo untuk memancing ikan. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur, 16 Mei 2015. Tempo/Fajar Januarta

TEMPO.CO, Lumajang - Tulisan ling deva Mpu Kameswara tirthayatra terpatri abadi dalam sebuah prasasti di tepi Danau Ranu Kumbolo, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Kalimat itu terukir di permukaan batu yang berlumut, memunggungi danau seluas 15 hektare. Di atas ketinggian 2.400 mdpl, danau ini kerap dijuluki surganya Gunung Semeru.

“Jangan disentuh karena sakral,” ujar teman perjalanan, Sendy Aditya, saat kami bersama mendaki pada April lalu. Suaranya mengentakkan lamunan. Tatapan pada prasasti berikut danau yang menghampar luas ini buyar seketika.

Waktu itu, Tempo bersama rombongan Forum Wartawan Pariwisata tengah melakukan jelajah lima ranu di Lumajang. Salah satu yang menjadi destinasi tujuan perjalanan kami adalah Ranu Kumbolo, yang belakangan laris sebagai objek destinasi digital.

Ranu Kumbolo ada dalam daftar kunjungan pertama, mendului empat ranu lainnya. Alasannya jelas: energi. Menjangkau Ranu Kumbolo tak semudah menyambangi lima ranu lainnya. Lantaran letaknya di tengah jalur pendakian Puncak Mahameru, kami harus melakukan penjelahan lebih dulu untuk sampai lokasi.

Malam sebelum tiba di Ranu Kumbolo, kami merencanakan perjalanan dari desa terakhir di kaki Gunung Semeru, yakni Ranu Pane. Inilah titik mula perjalanan kami. Ranu Pane menjadi saksi pintu gerbang kami mengeksplorasi Ranu Kumbolo.

Advertising
Advertising

Petang itu, sebuah peta pendakian di pos kawasan konservasi menampilkan rute perjalanan para pendaki. Dari titik bermalam hingga Ranu Kumbolo, kami harus melampaui 11 kilometer berjalan kaki dengan mendan yang terus mendaki.

Rombongan kami tidak sendiri. Saat itu kira-kira ada 500 pendaki lain. Ya, pendakian ke Gunung Semeru memang sedang ramai-ramainya. Berjubel orang ingin menanjak setelah jalur pendakian itu dibuka pasca-pemulihan ekosistem. Berbekal mimpi yang sama, yakni tiba di Ranu Kumbolo tanpa hambatan, perjalanan para pendaki pun dimulai pukul 08.00 WIB esok hari.

Semua catatan itu tersimpan dalam notes kecil yang dibawa dari Jakarta. Tertanggal 5 April 2018, sebuah jurnal ekspedisi enam ranu di Lumajang pun dimulai.<!--more-->

Menjamah Ranu Kumbolo Suasana pagi saat matahari terbit di Ranu Kumbolo, Semeru. Tempo/Francisca Christy Rosana

Empat pos pendakian akan menghadang. Hanya dengan melewati keempatnya, para pendaki bisa mencapai tujuan akhir: Ranu Kumbolo. Masing-masing membawa bekal, tenda, peralatan penghangat tubuh, dan obat-obatan. Suhu minus derajat menjadi musuh besar para pendaki pada bulan-bulan menjelang pertengahan tahun di ketinggian lebih dari 2.000 mdpl.

Pos pertama dilalui tanpa halang-rintang. Hanya, jalurnya menanjak tanpa bonus. Begitulah para pendaki kerap memberi julukan. Pada jalur pertama ini, mesin-mesin kaki bak sedang dipanasi. Tergopoh-gopoh laku para pendaki melewati jalanan setapak yang terus menanjak.

Lambat laun, jalur paving atau konblok berubah menjadi tanah berumput. Ladang-ladang atau sawah berganti hutan rapat. Cuitan burung dan nyanyi serangga hutan menjadi pengantar. Sesekali, sengal nafas terdengar lebih kencang daripada nyanyi serangga hutan.

Sembilan puluh menit perjalanan itu dilalui tanpa berhenti. Sebuah warung di hutanlah yang menyetop langkah. Kata para pendaki, inilah tandanya pos satu telah berakhir. Nanti sampai pos keempat, tanda itu masih sama. Masing-masing pos berakhir dengan lapak sederhana.

Di lapak itu penduduk lokal menjual gorengan, semangka, dan jajanan lainnya. Tampak unik bila dinalar. “Berarti mereka mendaki setiap hari?” kata saya kepada rekan perjalanan.

Seorang rekan yang asli Lumajang membenarkan. Para pedagang itu sudah terbiasa bolak-balik melaju hampir 10 kilometer memanggul dagangan. Mereka diuntungkan dengan jumlah pendaki yang mencapai ratusan saban hari.

Sejak Film 5 CM gubahan Rizal Mantovani dirilis pada 2012, pendakian ke Semeru memang langsung naik pamor. Banyak pendaki pemula yang menjajal menjelajah. Meski, tak sampai puncak. Tujuan mereka semata-mata ialah menyambangi Ranu Kumbolo. Danau ini memang menebar pesona, baik untuk dipotret secara visual maupun disambangi secara langsung.

Setidaknya butuh waktu 4-6 jam sampai tiba di lembah kaldera bernama Ranu Kumbolo. Tantangan terberat dirasakan pada pos terakhir. Jalur menanjak itu seakan-akan membuat tubuh condong tak beraturan. Jarak lutut dan jalan setapak pun hanya hitungan jengkal. Kemiringan jalanan itu tak terukur.

Namun, setelah lolos melampauinya, pendaki akan sampai pada gerbang pertama keindahan sebenarnya. Selamat datang di Ranu Kumbolo, surga para pendaki Gunung Semeru!<!--more-->

Ranu Kumbolo dan Mantra-mantra Alamnya Pemandangan pagi d kawasan Ranukumbolo, awan kabut terlihat di sekeliling danau. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur, 16 Mei 2015. Tempo/Fajar Januarta

Suhu mendekati nol derajat Celsius merangkul tenda-tenda para pendaki Gunung Semeru sejak malam . Menjelang dinihari, gerakan-gerakan merapatkan pintu tenda hampir dilakukan bersamaan oleh mereka, menimbulkan suara gesekan rerumputan dan flysheet.

Beberapa di antaranya tak sekadar menutup rapat, tapi juga mengecek dan memastikan bahwa rumah temporer mereka saat itu di Gunung Semeru benar-benar tak berongga. Sedikit saja hawa dingin menembus ke dalam, brrr... rasanya mungkin sampai ke tulang.

Sementara itu, di luar, air danau Ranu Kumbolo seperti menyemburkan kabut tebal. Kabut itu bertiup ke arah camping ground di muka danau, membuat rumput basah seperti diguyur air es. Beginilah suasana di awal musim pendakian Gunung Semeru. Dengan hujan yang masih sesekali turun, suhu danau di ketinggian 2.400 mdpl itu bisa mencapai minus 6 derajat.

Namun suhu dingin tak menciutkan nyali pendaki untuk bermalam di danau yang konon dijuluki surganya Gunung Semeru itu. Buktinya, sekitar 520 orang, menurut data Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau TNBTS di Resort Ranu Pane alias pos pendakian Gunung Semeru, tercatat membuka tenda di sana.

Sejumlah pendaki mengaku sengaja menginap di Ranu Kumbolo untuk menyaksikan matahari keemasan muncul di balik danau tatkala pagi. “Rombongan kami bermalam di sini untuk menyaksikan sunrise (matahari terbit),” kata Haris, mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang, yang ditemui Tempo di Ranu Kumbolo, hari itu.

Ungkapan itu langsung disetujui anggota rombongannya yang berjumlah lima orang. Pendaki lain, Adi, dari Surabaya, yang sudah dua kali ke Ranu Kumbolo mengatakan selalu terpukau dengan suasana pagi

Keindahan-keindahan yang dimaksud para pendaki terbukti saat langit di atas danau mulai terang. Cahaya merah keemasan mula-mula muncul di antara lekuk pertemuan bukit yang membentuk huruf “V”. Sedangkan langit di sekitarnya berubah rona menjadi keunguan. Semburat emas itu makin lama makin melebar hingga membuat gundukan bukit di sekitar Ranu Kumbolo seperti siluet.

Pukul 05.58, orang-orang di dalam tenda mulai melungsuti pembungkus badan dan beranjak ke tepi danau. Debit air danau pada pagi hari sedikit surut sehingga para pendaki bisa mendekat ke muka Ranu untuk memotret momentum yang ditunggu-tunggu itu.

Menjelang siang, pagi keemasan berganti terik. Meski demikian, ranu alias danau itu belum beranjak dari ruang eksotis. Bukit cinta yang membelakangi Ranu Kumbolo menunggu untuk didaki.

Di muka ranu alias danau itu, sebuah prasasti menanti. Konon, keberadaannya adalah lambang kesucian sekaligus tanda jejak manusia masa lampau. Berbagai sumber menulis, seorang prabu bernama Kameswara pernah mampir ke danau di ketinggian 2.400 mdpl itu. Buku berjudul Jaka Poleng Cerita-cerita Rakyat Kabupaten Brebes, yang dicetak pemerintah Kabupaten Brebes, menyebut nama Kameswara sebagai raja yang muncul pada masa Siliwangi I.

Di sekitar prasasti itu, pagar besi setengah berkarat berbalut kain putih dan kuning menjadi batas. Tertulis larangan tak boleh disentuh pada sebuah papan. Tulisan itu sudah luntur. Di balik kemolekan pesonanya, Ranu Kumbolo sarat cerita. Namun, itulah mantra-mantra alam Ranu Kumbolo yang melanggengkan pesonanya.<!--more-->

Memotret Kisah Lain Ranu Regulo Suasana pagi hari di Ranu Regulo, Gunung Semeru, Desa Ranu Pane, Lumajang, Jawa Timur, Sabtu, 7 April 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana

Penjelajahan tak berhenti di Ranu Kumbolo. Hari berikutnya, selepas menjelajahi Ranu Kumbolo, rombongan kami menjamah Ranu Regulo. Catatan perjalan itu tertuang dalam sebuah notes kecil yang basah terkena embun Semeru.

Sabtu, 7 April 2018.

Kabut tebal menutupi seluruh bagian permukaan Danau Ranu Regulo pagi itu. Bulan setengah purnama di atas danau belum bergerak dan cakrawala masih tak tampak. Ini membuat danau yang berlokasi di desa terakhir jalur pendakian Semeru, yakni Desa Ranu Pane, Lumajang, Jawa Timur, itu benar-benar nyenyat.

Selepas subuh pukul 05.00, Ranu Regulo nihil pengunjung. Tempo dan rombongan wartawan yang tergabung dalam Forum Wartawan Pariwisata berkesempatan menjadi wisatawan pertama yang datang kala itu.

Pada amatan pertama kami, Ranu Regulo yang berada di ujung lorong-lorong cemara. Udara terasa berkali lipat lebih dingin dan angin lebih banyak berembus. Sementara itu, suara serangga hutan nyaring terdengar, memecah sunyi. Beberapa kali, sayup-sayup terdengar suara benda jatuh di air, menimbulkan bunyi plung-plung!

Mendekat ke tepi danau, ada sebuah gazebo kayu. Tampak seorang nenek berusia 60-an tahun duduk-duduk di sana. Kain berlipat-lipat terlihat membungkus badannya. Ia seperti orang kedinginan lantaran selalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.

Si nenek membuat api kecil dari reranting pohon di depan gazebo. Ketika Tempo melintas, ia tak acuh. Suara riuh rombongan yang datang tak membuat ia menengok sedikit pun. Tatapannya selalu ke bawah dengan badan merunduk. Si nenek tampak seperti sedang mencari sesuatu yang tak kunjung ketemu. Kadang-kadang, ia tertawa dan berbicara sendiri.

“Dia (nenek) tak bakal mengganggu,” kata anggota rombongan, Sendy. Sendy berkisah pernah mendirikan tenda dan bermalam di Ranu Regulo. Ia, yang ditemani penduduk lokal, memperoleh pengalaman supernatural ketika tidur di lambung tenda.

“Si nenek ngomong sendiri sepanjang malam,” ucapnya. Sayup-sayup, nenek itu mengatakan “matur nuwun” berkali-kali. Matur nuwun berarti terima kasih.

Warga setempat, Fitri Hutami, yang ditemui di tengah ladang perkebunan kentang pada hari yang sama, berkisah sedikit tentang keberadaan nenek ini. Konon, tutur Fitri, nenek penunggu Ranu Regulo adalah warga desa itu. Ia diasingkan oleh keluarganya lantaran mengalami gangguan jiwa.

Pengunjung yang datang tak disarankan mengobrol dengan si nenek. Juga tak direkomendasikan memotretnya. “Jangan ngobrol,” tutur Fitri, yang tak disertai dengan alasan.

Di luar kisah si nenek, Ranu Regulo memiliki magnet bagi wisatawan yang menyukai aksi potret-memotret. Danau ini menjadi spot favorit untuk berswafoto. Sebuah anjungan di tepi danau memberi kesan eksotis. Pada waktu-waktu tertentu, ketika pagi dan sore menjelang matahari terbenam, pepohonan di danau itu akan memantulkan bayangan di dalam air.

Embun yang turun diterpa suhu hampir minus juga membikin danau ini memiliki citra berbeda. Penduduk lokal mengatakan Ranu Regulo mirip dengan danau-danau di Eropa.

Sedangkan sosok si nenek acap lekat menjadi cerita yang diselipkan dalam keterangan foto yang diambil oleh para wisatawan. Di luar kemolekannya sebagai lokasi foto, Ranu Regolo gembung akan kisah-kisah lokalnya.<!--more-->

Segitiga Ranu yang Instagramable Pemandangan pagi di Ranu Klakah, Lumajang, Jawa Timur. TEMPO | Francisca Christy Rosana

Minggu, 8 April 2018, perjalanan kami berlanjut. Kali ini, tujuan kami ialah segitiga ranu yang masuk wilayah Lumajang. Suhu sejuk mengawali penjelajahan mencapai satu per satu ranu tersebut. Pertama, kami menyemukai Ranu Klakah. Air Ranu Klakah di Kecamatan Klakah, Lumajang, Jawa Timur, tak beriak sedikit pun pagi itu. Permukaannya anteng dan warna airnya bening membentuk refleksi.

Di ekor ranu alias danau itu, bayangan Gunung Lemongan yang membuntutinya terlihat nyata. Refleksi gunung dalam air tampak seperti dua segitiga sama kaki yang bertaut.

Pemandangan pagi di Ranu Klakah dengan latar gunung berketinggian 1.651 mdpl ini makin komplet dengan munculnya aktivitas seorang warga lokal pencari ikan. Ia menunggang getek, lalu menebar jaring insang atau gillnet dari tepi hingga lambung danau.

Sejumlah fotografer, yang juga merupakan wisatawan dari Jakarta, memotret panorama pagi itu. Pemandangan seperti ini konon langka bagi orang-orang yang hidup di daerah urban. “Banyak wisatawan ke sini pagi-pagi. Pemandangan pagi di sini langka karena ini satu-satunya danau yang berhadapan langsung, lurus, dan simetris dengan Gunung Lemongan,” kata seorang budayawan lokal, Abdullah AL-Kudus alias Aak.

Ranu Klakah membentang seluas lebih dari 20 hektare. Danau itu merupakan danau maar yang terbentuk karena letusan gunung berapi. Di sekitar Ranu Klakah terdapat danau maar lainnya. Ada 13 jumlahnya. Seluruhnya ialah maar yang terisi air dan terbentuk karena aktivitas vulkanis Gunung Lemongan.

Kedalaman Ranu Klakah mencapai 28 meter. Di dalamnya hidup beragam jenis ikan, seperti mujair, gabus, dan wader. Pada Juli hingga Agustus, pada waktu tertentu, ikan-ikan di Ranu Klakah akan mabuk dan pingsan. Kata Aak, peristiwa ini dikenal dengan musim koyok. “Kandungan belerang naik, dan ikan teler,” katanya.

Bagi penduduk setempat, musim koyok adalah peristiwa yang cukup misterius. Datangnya tak bisa dikira-kira jauh-jauh hari. Namun dapat diprediksi semalam sebelum musim itu tiba. “Malam sebelum musim koyok, suhu di sekitar Ranu Klakah dingin sekali. Lalu air di danau ini bau belerang,” tutur Aak.

Di balik panoramanya yang menyedot perhatian, Ranu Klakah menyimpan misteri lain yang hingga kini ramai menjadi buah bibir. Selain musim koyok, ada sejumlah ular bernama selanceng yang dipercaya hidup di dasar ranu.<!--more-->

Ular selenceng memilihi logo V berwarna emas di kepalanya. “Terakhir ular itu muncul pada 1992 dan disaksikan banyak orang,” katanya. Ular selenceng yang menampakkan diri itu ukurannya sangat besar. Kepala dan ekornya berada di ujung danau yang terpisah. “Kepalnya di sini, ekornya di sana,” kata Aak sambil menunjung jauh lokasi dilihatnya ekor ular.

Di luar alkisah yang penuh misteri, Ranu Klakah menjadi sumber hidup bagi warga setempat. Airnya yang berkubik-kubik banyaknya dimanfaatkan untuk mengairi 620 hektare sawah. Sedangkan ikannya dipancing setiap hari untuk makan dan dijual.

Perjalanan kedua pada ekspedisi segitiga ranu ialah bertandang ke Ranu Pakis. Ranu Pakis terletak tak jauh dari Ranu Klakah. Lokasinya masih berada di Kecamatan Klakah, 18 kilometer dari Stasiun Lumajang. Sama seperti Ranu Klakah, Ranu Pakis merupakan danau maar yang terbentuk akibat aktivitas vulkanik Gunung Lemongan. Air danau itu berwarna biru tosca, yang tentu menjadi daya tarik utama. Warna air danau itu berbeda dengan danau-danau lainnya.

Disekitar Ranu Pakis tumbuh pepohonan pakis. Diberi nama Ranu Pakis karena sesuai dengan keadaan alamnya. Di Ranu Pakis, pengunjung bisa menikmati danau yang dikelilingi dua gunung sekaligus, yaitu Gunung Lemongan dan Gunung Semeru. Matahari pagi akan muncul di antara pegunungan itu, membuat air tampak berkilau.

Ranu Pakis terletak di ketinggian 600 mdpl dengan luas sekitar 50 hektare. Wisatawan bisa menikmati danau ini dengan memancing. Sebab, masyarakat sekitar telah membudidayakan ikan mujair dan nila. Pengunjung juga dapat menikmati pandangan nelayan menjaring ikan di atas getek di tengah danau.

Tearakhir, kami menyambangi Ranu Bedali. Ranu Bedali seperti rangkaian terakhir dalam segitiga ranu di kaki Gunung Lemongan. Ranu yang satu ini berlokasi di Kecamatan Ranuyoso, Lumajang, atau 7 kilometer dari Ranu Pakis. Ranu Bedali berada di keinggian 700 mdpl dengan luas mencapai 25 hektare. Adapun kedalamannya berkisar 28 meter.

Berbeda dengan ranu-ranu lainnya, Ranu Bedali memiliki air terjun di salah satu sisinya. Namun bila ingin menuju danau dan air terjun, pengunjung harus turun melewati tangga. Jika enggan menapak jalur yang naik turun, pengunjung bisa menikmati Ranu Bedali dari atas gardu pandang yang terletak di tepi jalan raya. Dari situ pula wisatawan dapat berfoto karena ada spot wisata digital yang Instagenic.

Perjalanan menjelajhi lima ranu ini kami akhiri dengan sebuah pesan: apa yang kami potret sarat memuat kisah tentang eksotisme lokal. Keindahan yang kami dapat tak sebatas konten visual. Sebab, alam itu indah karena harmonisasinya dengan peradaban dan cerita masyarakat setempat.<!--more-->

Cara ke Lumajang Sejumlah pendaki memotret pagi di Ranu Kumbolo, Semeru, Jawa Timur, dari Tanjakan Cinta, Minggu, 7 April 2018. Tempo/Francisca Chrisrty Rosana

Ada beberapa mode transportasi yang bisa dipilih untuk menuju Lumajang. Bila menggunakan pesawat, wisatawan dapat memilih rute penerbangan ke Surabaya atau Jember. Dari Surabaya, perjalanan bisa dilanjutkan menunggang bus dengan tujuan Lumajang. Jarak tempuhnya lebih-kurang 3 jam.

Sedangkan dari Jember, wisatawan dapat memilih menyewa mobil pribadi atau menunggang transportasi umum. Jarak tempuh dari bandara Jember ke Lumajang berkisar 1 jam.

Wisatawan juga dapat menunggang kereta api dengan tujuan Stasiun Klakah. Ada delapan pemberhentian kereta api rata-rata setiap hari, seperti Kereta Api Rangga Jati dari Surabaya.

Akomodasi di Lumajang

Lumajang memiliki beberapa hotel dan homestay. Bila memilih bermalam di Ranu Pane, wisatawan dapat menyewa homestay penduduk lokal dengan tarif rata-rata Rp 100 ribu per orang, sudah termasuk sarapan. Pada hari-hari bukan liburan atau low season, harga penginapan bisa turun sampai Rp 80 ribu.

Membawa Buah Tangan dari Kaki SemeruSeorang pendaki Gunung Semeru sedang belanja oleh-oleh di toko outdoor Desa Ranu Pane, Lumajang, Jawa Timur, 8 April 2018. Istimewa

Edelweis dan bunga verba yang tumbuh di sekitar jalur pendakian Gunung, Jawa Timur, bukan buah tangan yang bisa Anda bawa pulang setelah mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Bila ingin membawa kenang-kenangan ke rumah setelah mendaki, singgahlah di Ranu Pane.

Di Ranu Pane, buah tangan yang bakal Anda temui ini berbau perlengkapan-perlengkapan outdoor. Misalnya peralatan naik gunung cukup lengkap, mulai celana cargo hingga jaket windbreaker. Anda bisa membelinya untuk oleh-oleh atau persiapan mendaki di gunung selanjutnya.

Harga yang ditawarkan lumayan bersaing. Jaket windbreaker dibanderol mulai Rp 200 ribu. Adapun celana cargo berkisar Rp 170 ribu.

Ada juga gelang-gelang prusik. Gelang prusik lekat dengan atribut tambahan yang kerap dipakai para pendaki. Gelang ini dibanderol mulai Rp 5.000 per buah.

Baca Juga: Belanja Oleh-oleh Perlengkapan Outdoor di Kaki Gunung Semeru

Bila ingin membeli buah tangan dalam jumlah besar, Anda bisa memilih emblem dan pin. Emblem dan pin bertuliskan Gunung Semeru berjajar di etalase toko tersebut. Ada banyak pilihan yang cukup membikin bingung. Namun, lantaran harganya cukup terjangkau, yakni berkisar mulai Rp 5.000, Anda dapat memborong semua motifnya.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Berita terkait

Seismograf Gunung Semeru di Jawa Timur Rekam Guncangan Kuat Gempa Garut

5 hari lalu

Seismograf Gunung Semeru di Jawa Timur Rekam Guncangan Kuat Gempa Garut

Ada tujuh kali gempa tektonik jauh yang terekam dengan amplitudo 4-26 mm, S-P 12-60 detik, dan lama gempa 29-533 detik.

Baca Selengkapnya

Longsor dan Banjir di Wilayah Gunung Semeru: 3 Tewas, 17 Jembatan Rusak, Akses Lumajang-Malang Terputus

13 hari lalu

Longsor dan Banjir di Wilayah Gunung Semeru: 3 Tewas, 17 Jembatan Rusak, Akses Lumajang-Malang Terputus

Bencana banjir dan longsor yang dipicu intensitas hujan yang tinggi di wilayah Gunung Semeru menimbulkan korban jiwa dan merusak sejumlah fasilitas

Baca Selengkapnya

Setidaknya 11 Jembatan di Lumajang Rusak Akibat Banjir Lahar Dingin Gunung Semeru

13 hari lalu

Setidaknya 11 Jembatan di Lumajang Rusak Akibat Banjir Lahar Dingin Gunung Semeru

Setidaknya ada 11 jembatan di Lumajang yang dilaporkan rusak akibat banjir lahar dingin Gunung Semeru.

Baca Selengkapnya

3 Orang Meninggal Akibat Longsor dan Lahar Dingin di Kawasan Gunung Semeru

13 hari lalu

3 Orang Meninggal Akibat Longsor dan Lahar Dingin di Kawasan Gunung Semeru

Satu warga meninggal akibat tertimbun material longsor dan dua warga meninggal akibat terbawa arus lahar dingin Gunung Semeru

Baca Selengkapnya

Selain Erupsi Gunung Ruang, Aktivitas Lewotobi Laki-laki sampai Semeru dan Gamalama Sedang Naik

13 hari lalu

Selain Erupsi Gunung Ruang, Aktivitas Lewotobi Laki-laki sampai Semeru dan Gamalama Sedang Naik

Aktivitas gunung berapi tidak hanya terjadi pada Gunung Ruang , tapi juga Lewotobi Laki-laki sampai Gamalama dan Semeru.

Baca Selengkapnya

Jembatan yang Dilintasi Mendadak Putus, Pasutri di Lumajang Tewas Terseret Lahar Dingin Gunung Semeru

13 hari lalu

Jembatan yang Dilintasi Mendadak Putus, Pasutri di Lumajang Tewas Terseret Lahar Dingin Gunung Semeru

Sepasang suami-istri menjadi korban lahar dingin Gunung Semeru. Mereka jatuh ke sungai saat jembatan yang mereka lintasi terputus.

Baca Selengkapnya

Sungai Meluap Akibat Lahar Dingin Gunung Semeru, 32 Keluarga di Lumajang Mengungsi

14 hari lalu

Sungai Meluap Akibat Lahar Dingin Gunung Semeru, 32 Keluarga di Lumajang Mengungsi

Lahar dingin dari Gunung Semeru meningkatkan debot air daerah Sungai Regoyo di Lumajang. Warga sekitar mengungsi mandiri.

Baca Selengkapnya

Warga Lumajang Evakuasi Mandiri Pasca Banjir Lahar Dingin Gunung Semeru

14 hari lalu

Warga Lumajang Evakuasi Mandiri Pasca Banjir Lahar Dingin Gunung Semeru

Banjir lahar dingin itu menyebabkan debit air Daerah Aliran Sungai (DAS) Regoyo meluap hingga merendam permukiman warga pada Kamis, pukul 19.30 WIB.

Baca Selengkapnya

Aktivitas Gunung Semeru Semakin Intens, Warga Diminta Waspadai Awan Panas, Guguran Lava dan Lahar

16 hari lalu

Aktivitas Gunung Semeru Semakin Intens, Warga Diminta Waspadai Awan Panas, Guguran Lava dan Lahar

Badan Geologi masih mempertahankan status aktivitas Gunung Semeru berada di Level III atau Siaga dengan penambahan rekomendasi.

Baca Selengkapnya

Letusan dan Awan Panas Gunung Semeru Terus Meningkat Sejak 2021, Ini Penjelasan Badan Geologi

16 hari lalu

Letusan dan Awan Panas Gunung Semeru Terus Meningkat Sejak 2021, Ini Penjelasan Badan Geologi

Aktivitas vulkanik Gunung Semeru terus meningkat selama empat tahun terakhir. Badan Geologi menjelaskan sejumlah gejalanya.

Baca Selengkapnya