Dunia Berhenti Sejenak di Gmund (1)
Editor
Muhammad Kelik Nugroho koran
Senin, 24 Oktober 2016 23:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gmund adalah ibu kota Bezirk Gmund, sebuah distrik dari Negara Bagian Carinthia Federasi Austria.Kota kecil ini sangat kental aura seninya. Hal itu ditegaskan oleh berbagai galeri dan ruang pertunjukan, juga sikap artistik warganya. Pada 19 Juli – 5 Agustus 2016, wartawan Tempo Hari Prasetyo bagian dari rombongan Teater Tetas dari Jakarta, mengadakan tur pentas Belenggu Prometheus di Eropa, dan mampir di kota Gmund. Berikut laporan perjalanannya.
Rasa lega menyelinap setelah kami menempuh perjalanan darat dengan menumpang mobil. Waktu tempuhnya sekitar tiga jam dari Ljubljana, ibu kota Slovenia. Kami menyusuri jalan bebas hambatan menuju pintu perbatasan negara pecahan Yugoslavia ini dengan Austria.
“Gmund ada di balik gunung itu,” kata Werner Schulze, guru besar di Universitas Musik dan Seni Pertunjukan Wina, menunjuk ke hamparan pegunungan yang terlihat dari kaca mobil, saat perjalanan tadi. Mas Werner, demikian ia suka dipanggil, mengendarai salah satu dari tiga mobil yang membawa kami, rombongan Teater Tetas dari Jakarta, dalam tur pentas Belenggu Prometheus di Eropa, 19 Juli–5 Agustus lalu.
Kami terdiri atas 10 orang yang berangkat dari Jakarta. Empat rekan Werner menemani sejak dari Kavala, Yunani. Mereka termasuk Adi Schober, pemusik dan penata lampu, dan Dieter Gansterer, yang masing-masing mengemudikan dua mobil lainnya dalam perjalanan panjang Kavala, Patras, Ljubljana, Gmund, Wiener Neustadt, Grunbach, dan kelak berakhir di Festorakos, Hungaria.
Setelah melewati jalan yang berkelok, sampailah kami di Gmund. Ini sebuah kota dalam kawasan Pegunungan Alpen. Jalan raya lebar yang lengang, padang rumput, hutan pinus, danau, lembah sungai dengan air jernih, dan puncak gunung bersalju di kejauhan menjadi pengantar memasuki Gmund.
Untuk memasuki kota, kami melewati satu dari dua lorong sebuah pintu gerbang besar kuno yang dibangun pada 1208. Antrean kendaraan panjang di pintu perbatasan membuat kami tak bisa memesan makan siang lagi di hotel tempat menginap, yaitu Gasthof Kohlmayr yang sudah berusia 200 tahun. Tapi, duduk di kursi kafe yang ada di pedestrian depan hotel ini setelah memasukkan koper, ransel, dan properti pentas, membuat rasa lapar kami terkikis. (bersambung) *