Halaman dalam Museum Nasional Jakarta, 14/8. Pada sisi timur, diisi oleh kolkesi arkeologis dari awal abad ke-5-15 Masehi, yang dipengaruhi kebudayaan India. Tempo/Jati Mahatmaji
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Museum Indonesia akan mengupas tuntas soal Jalur Rempah di Indonesia selama Museum Week 2015, yang berlangsung 18-25 Oktober 2015 di Museum Nasional, Jakarta.
Direktur Konten Yayasan Museum Indonesia Hani Fibianti di Jakarta, Senin, 12 Oktober 2015, mengatakan Museum Week 2015 mengangkat tema “Jalur Rempah” untuk mengingatkan kembali peran penting perdagangan rempah dan pengaruhnya terhadap peradaban dan kebudayaan di Indonesia.
Hani mencontohkan, perdagangan lada pada abad ke-12 telah membawa Kesultanan Banten menjadi salah satu metropolis dunia.
Sejarawan JJ Rizal bahkan menuturkan Jalur Sutera, yang begitu tersohor di kalangan pedagang sebagai penghubung negeri Barat dan Timur, sebenarnya hanya bagian dari Jalur Rempah.
Rizal berujar, pada masa itu, rempah-rempah merupakan komoditas perdagangan yang lebih utama ketimbang sutera, sehingga para sejarawan lebih sering menyebutnya Jalur Rempah.
Antropolog kesehatan, Rusmin Tumanggor, mengatakan penggunaan kapur dari Barus oleh masyarakat adat di Indonesia sudah ada sejak sebelum masehi.
Telah ditemukan mantra-mantra menggunakan berbagai jenis bahasa, seperti Sansekerta, Ibrani, dan bahasa Cina, yang fungsinya mendukung pengobatan penyakit dengan memanfaatkan kapur barus.
Hal ini, menurut Rusmin, membuktikan bahwa Barus, yang berada di Sumatera Utara, telah menjadi pusat perdagangan penting sejak dulu.