TEMPO.CO, Jakarta - Jika Anda sedang melintasi Jalan Raya Batang, Alas Roban, Batang, Jawa Tengah, pada malam hari, sesekali tengoklah kawasan ini. Di kawasan hutan jati ini pemandangan kerlap kerlip lampu temaram, irama dangdut bersahutan. Banyak perempuan berdandan seronok menemani para sopir truk di warung-warung di sepanjang jalan itu. Kebanyakan perempuan ini mengenakan pakaian pendek atau celana jins sepangkal paha. Baju mereka ketat dan memamerkan belahan dadanya.
Para perempuan ini rata-rata berusia 20-40 tahun. Mereka adalah para pekerja seks di tempat prostitusi hutan jati Alas Roban. “Sudah lima tahun saya bekerja di sini,” ujar seorang perempuan yang mengaku bernama Reni, 24 tahun.
Alas Roban, hutan jati kecil yang terkenal di ujung timur Kabupaten Batang, dikenal angker sejak dulu. Selain kejadian misterius, tempat ini juga sering menjadi langganan perampokan. Jalur ini merupakan jalur Daendels yang sempat menjadi urat nadi lalu lintas nasional.
Kini daerah tersebut menjelma sebagai salah satu lokalisasi paling ramai di jalur Pantai Utara alias Pantura. Tak kurang 30 warung berjajar sepanjang 100 meter. Mereka menyediakan minuman ringan, kopi, bir, pemijat, hingga perempuan penghibur. “Cewek yang berdandan pasti biasa diajak,” ujar Boy, seorang sopir truk yang ditemui Tempo di sana, lalu tertawa.
Sekali kencan, mereka rata-rata mematok harga Rp 150-200 ribu. Hampir semua pelanggan mereka sopir truk yang singgah. Boy mengklaim selalu mendapatkan tarif paling murah karena merupakan pengunjung tetap di sana. "Sudah ada kamar kecil yang disediakan di belakang warung," katanya berbisik.
Tak sampai 1 kilometer dari warung-warung itu, masih termasuk kawasan hutan jati, terletak Desa Panundan yang dikenal luas sebagai desa prostitusi. "Di sini agak lebih mahal, Rp 250-300 ribu, karena usia mereka lebih muda," ucap Ardy, sopir truk yang sedang beristirahat di Panundan.
Prostitusi di Alas Roban dan Panundan baru berkembang tiga dekade belakangan, sejak daerah-daerah itu menjadi tempat singgah para sopir truk sepanjang jalur Pantura. Alas Roban merupakan titik lelah para sopir yang datang dari arah Lasem atau Indramayu. Sebab, biasanya mereka kecapekan setelah mengemudi 8-10 jam. "Saat melepas lelah, kami butuh hiburan," tutur Boy.
Pengusaha ekspedisi bukan tak paham perilaku para sopir mereka. Semua truk sudah dipasangi global positioning system alias GPS untuk memantau perjalanan truk. Mereka akan ditegur mandor bila terlalu lama berhenti di lokasi peristirahatan, apalagi di warung remang-remang. "Kalau berhenti di titik yang bukan ditetapkan sebagai tempat istirahat, kantor bisa langsung menelepon," ujar Budi Hantoro, seorang sopir truk. Namun warung-warung hiburan itu tetap saja ramai.
Lokalisasi di sepanjang Pantai Utara Jawa sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Dulu mereka bertebaran di sepanjang Jalan Pos, yang dibangun atas instruksi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36, Maarschalk Herman Willem Daendels. Kala itu jalan yang menghubungkan Anyer dan Panarukan tersebut merupakan jalur utama lintas Pulau Jawa sekaligus alur distribusi logistik Jawa-Sumatera.
Jalur Pantura, yang kini menjadi favorit para sopir truk ekspedisi pelabuhan-pelabuhan utama, seperti Cirebon, Semarang, dan Surabaya, sebagian besar merupakan bekas Jalan Pos. Namun sebagian besar lokasi prostitusi di Pantura baru terbentuk kemudian.
Menurut Wijanarto, sejarawan asal Brebes, lokalisasi zaman baheula itu menghilang akibat pola titik lelah para sopir yang berubah. Contohnya lokalisasi Plawangan, yang terletak antara Tegal dan Pemalang. Di sana dulu ada pabrik gula yang dibangun pemerintah Belanda. Buruhnya mencapai seribuan orang. "Pelanggannya para buruh pabrik itu juga," katanya.
Kalaupun ada yang bertahan, kebanyakan tidak lagi segemerlap dulu. Di pusat Kota Semarang, kata sejarawan lokal Jongkie Tio, 74 tahun, ada lokasi prostitusi lama yang bertahan. Itu karena peran Pelabuhan Tanjung Emas yang vital bagi kapal-kapal besar. Di samping itu, letaknya yang di tengah Jawa membuat Semarang selalu menjadi kota transit para pelintas Jalan Raya Pos.
Mereka biasanya menginap di daerah yang kini dikenal dengan nama Jalan Imam Bonjol dan Pemuda. "Kebanyakan mereka adalah pelaut, pedagang, dan orang Belanda," ucap Jongkie, Rabu dua pekan lalu.
Jalan Imam Bonjol kala itu merupakan terusan dari Jalan Raya Pos yang dibangun atas instruksi Daendels. Di sana terdapat banyak hotel yang menyediakan perempuan penghibur. Semua milik pengusaha Belanda. Pada masa itu, tak sembarang orang bisa menginap di sana. Mereka harus berkantong tebal atau dari kalangan bangsawan. Itu sebabnya perempuannya juga spesial. "Kebanyakan noni Belanda dan Cina," kata Jongkie.
Meski bertahan, sekarang pelaku prostitusi di Jalan Imam Bonjol bukan lagi masyarakat kelas atas. Jumlah penjaja cintanya pun tak banyak lagi. Saban malam, mereka mangkal di pinggir jalan, duduk sendirian di jok sepeda motor menunggu pelanggan.
Lokasi prostitusi yang juga masih bertahan antara lain di Desa Maribaya, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Dulu daerah ini menjadi tempat singgah yang amat ramai. Namun, karena Tegal bukan lagi lokasi singgah favorit para sopir, tempat itu kini meredup. Sekarang tinggal empat tempat yang menyediakan jasa wanita penghibur di sana, yang kebanyakan tidak muda lagi. Mereka berkedok warung sate kambing. "Sopir sekarang lebih suka perempuan yang tercecer di jalanan," ucap Dina, 40 tahun, dalam bahasa Jawa.
Warung remang-remang juga bermunculan di Kecamatan Lasem, Rembang, yang berjarak sekitar delapan jam dari Alas Roban. "Di Jawa Tengah, Alas Roban dan Lasem kini memang menjadi titik lelah para sopir truk," kata juru bicara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Namun dia menampik tudingan bahwa pemerintah lokal membiarkan kedua daerah itu berkembang menjadi lokalisasi pelacuran. "Kalau ada praktek prostitusi, pasti kami tindak," ujarnya.
TIM TEMPO
Berita terkait
Catatan Sejarah Paris van Java Menjadi Julukan Kota Bandung
26 September 2022
Julukan Paris van Java untuk Kota Bandung mulai mencuat ketika acara Kongres Internasional Arsitektur Modern di Swiss pada Juni 1928.
Baca SelengkapnyaHari Ini 212 Tahun Lalu, Kota Bandung Diresmikan Daendels
25 September 2022
Herman Williem Daendels meminta Bupati Bandung dan Bupati Parakanmuncang memindahkan ibu kota kabupaten melalui surat tanggal 25 Mei 1810.
Baca SelengkapnyaKelenteng-kelenteng di Jalan Raya Pos Daendels
12 Februari 2018
Pada Cap Go Meh, arak-arakan joli yang diikuti liong dari kelenteng-kelenteng itu ada yang melewati jalan Daendels.
Baca SelengkapnyaSenja yang Sempurna di Jalur Daendels
28 Mei 2015
Nyaris tak ada jejak kejayaan pelabuhan di ujung Jalan Raya Pos Daendels ini.
Baca SelengkapnyaKisah Seniman Pembuat Lukisan Bak Truk di Jalur Pantura
27 Mei 2015
Tren lukisan di bak truk bergeser ke model stiker. Tetap khas dengan gambar nakal dan kalimat jail.
Kisah Mayat di Alas Roban
27 Mei 2015
Jalan Daendels membelah Alas Roban yang terkenal angker dan rawan kejahatan. Jadi tempat pembuangan mayat.
Baca SelengkapnyaJembatan Ini Dulu Bertiang Pancang Manusia
27 Mei 2015
Jadi alat untuk menghukum penduduk karena jembatan tak kunjung selesai
Baca SelengkapnyaMisteri Makam Diduga Korban Kerja Paksa Jalan Daendels
27 Mei 2015
Korban kerja paksa pembangunan Jalan Raya Pos diperkirakan juga dikubur langsung di sekitar Cadas Pangeran.
Baca SelengkapnyaDaendels Tak Begitu Dikenal di Kota Kelahirannya
27 Mei 2015
Di kota kelahirannya sendiri, Hattem, jejak jenderal bertangan besi ini hanya terdapat di Museum Voerman, museum sejarah Kota Hattem.
Baca SelengkapnyaMenjelajah Keindahan Pasir Putih Situbondo
27 Mei 2015
Pantai Pasir Putih di Kecamatan Bungatan, Situbondo, Jawa Timur, cukup strategis, di sisi Jalan Raya Pos karya Gubernur Jenderal Daendels.
Baca Selengkapnya