Yuk, Nonton Wayang Kota Tua di Akhir Pekan
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Selasa, 10 Februari 2015 05:29 WIB
TEMPO.CO , Jakarta: Museum Wayang, terletak di sisi timur Museum Fatahillah, di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, tampak bergeliat di akhir pekan. Ratusan pengunjung memasuki pintu museum satu per satu, kadang berdua-dua.
Dari luar, museum sepintas seperti rumah bertingkat peninggalan Belanda biasa dengan cat berwarna putih hijau, tak mencolok. Melewati pintu masuk, tepat di sisi kanan, pengunjung wajib menukarkan uang menjadi tiket yang harus ditunjukkan ke petugas keamanan berseragam hitam-hitam. Harga tiket bervariasi, Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 3.000 untuk pelajar, tentu saja jika datang berombongan minimal 30 orang akan dikenai tarif yang berbeda.
Tak seperti hari biasa, Ahad merupakan puncak kunjungan pengunjung. "Kalau libur seperti ini biasanya 20 sampai 30 bendel karcis akan habis," kata Didik, pegawai honorer Museum Wayang yang berperan dalam hal mengatur koleksi dan guide yang juga bertugas di loket karcis kepada Tempo, Ahad 8 Februari 2015. Ia mengambil segepok bendelan kertas berwarna biru sambil menuturkan segepok bendelan itu berisi 100 lembar tiket. Jadi, kata dia, Museum Wayang boleh berjumawa lantaran dapat menarik 20 ribu hingga 30 ribu pengunjung per hari pada hari libur.
Karakter pengunjung pada hari libur dan hari biasa berbeda. Hari biasa, pengunjung yang datang biasanya dalam rombongan. "Anak-anak sekolah study tour atau rombongan mahasiswa yang sedang tour," kata dia.
Sementara jika hari libur seperti hari ini, pengunjung yang datang kebanyakan keluarga dan pasangan muda-mudi yang asik berfoto atau berpegangan tangan sambil sesekali berhenti di salah satu pajangan wayang. Tak jarang sekelompok anak muda datang dalam jumlah 5-7 orang, berfoto sambil menggerakkan wayang golek yang dipajang, bergegas menuju ruangan lain lalu pulang, melewatkan pertunjukan wayang di ruang pagelaran. "Kunjungan singkat seperti itu biasa terjadi, tapi minimal mereka mengetahui wayang dan tertarik untuk datang karena wayang," kata pria asli Pacitan ini.
<!--more-->
Melewati pemeriksaan karcis, ruangan luas dengan lorong-lorong yang dipenuhi pajangan wayang berwarna-warni menanti, membuat wayang menjadi atraktif di tengah pencahayaan yang redup. Pemandangan ini membuat mata tak jemu lantaran karakter wayang yang dipajang tak pernah sama. Setiap wayang yang dipajang berasal dari bahan dan jenis yang berbeda, lengkap dari seluruh penjuru Nusantara.
"Jumlah koleksi Museum Wayang keseluruhan ada 6.200 wayang dari seluruh nusantara, tetapi yang dipajang sekitar 2.000 saja supaya bisa diganti-ganti. Biar pengunjung tidak bosan," kata dia.
Di ruangan pertama, pengunjung akan disajikan kisah perwayangan purwa Ramayana. Pengunjung akan diantarkan pada cerita Rama Wijaya, Dewi Sinta dan penguasa Alengka Rahvana. Cerita ini disajikan dalam tujuh sinopsis yang saling berurutan dalam pajangan yang seolah menggambarkan adegan dalam sinopsis itu. Seperti misalnya dalam babak Lesmana, tangan kanan Rama, yang diberi mandat oleh Rama untuk menjaga Sinta lalu membuat lingkaran di sekeliling Sinta manakala permaisuri Rama itu meminta ia pergi memeriksa keadaan Rama. Dalam babak ini, ada dua karakter wayang yang mewakili Lesmana dan Dewi Sinta yang saling berhadapan di atas kain merah dan karakter Sinta berada di lingkaran putih.
Di lorong selanjutnya, pengunjung akan disuguhi aneka wayang dari seluruh nusantara yang menceritakan hikayat, dongeng, mitos dan legenda dari sebuah wilayah. Cerita Mahabharata akan menyambut pengunjung di lorong selanjutnya. Perseteruan antara Pandawa Lima dan Kurawa dibagi dalam potongan belasan sinopsis. Sayang, epos ini tak diceritakan menyeluruh hingga akhir, Parikesit naik takhta. "Kami memiliki keterbatasan jumlah wayang jika ingin menyajikan secara utuh," kata pria yang sudah delapan tahun mengabdi di museum bekas Gereja Protestan kedua ini.
Di akhir labirin perjalanan, pengunjung diberi pilihan menonton pagelaran wayang atau menyudahi perjalanan. Hari ini, Sanggar Giri Cala yang menyuguhkan Wayang Golek Sunda dengan Dalang Nana Taryana yang bergiliran tampil. Suara gamelan dan pesinden menyeruak dari dalam ruangan yang memiliki 120 kursi yang hanya diisi sepertiganya. Kebanyakan pengunjung bertahan selama 20 menit lalu sibuk dengan handphone lalu bergegas keluar. Selama 45 menit, jumlah pengunjung datang tak jauh berbeda namun seringkali berganti.
<!--more-->
Namun, Asep Tantra, 50 tahun, warga Garut, mengaku tak beranjak sejak sejam lalu. Hanya ia yang aktif memberi applause dan suitan panjang di sela-sela pertunjukan. "Saya memang suka nonton wayang," ujar dia. Ia tak mengabadikan pertunjukan dengan kamera atau alat perekam dari handphone seperti kebanyakan pengunjung yang hanya sebentar datang lalu pergi. Duduk bersidekap ditemani sang istri di sampingnya, ia masyuk menikmati pertunjukan itu.
Anna Koehlr, turis asing berkebangsaan Jerman, mengaku takjub dengan pertunjukan itu. Meskipun tak memahami bahasa yang digunakan, ia memilih menikmati gerakan wayang golek dan alunan tembang yang berkumandang. "Saya terkesan demgan pertunjukan ini meskipun tidak tahu apa yang dibicarakan, saya hanya menerka-nerka saja dan sepertinya menarik. Saya sedikit tahu soal Arjuna dan cerita Mahabharata," kata dia.
Pengakuan serupa diberikan oleh Angel Sylvia, 20 tahun, mahasiswa Universitas Tarumanegara. Ia mengatakan sedikit tertarik dengan pertunjukan ini namun menjadi bosan karena tidak mengerti bahasa yang digunakan. "Kalau tahu ngomong apa mungkin bisa lebih lama di sana (di dalam ruang pagelaran)," kata dia. Ia lebih tertarik untuk mengabadikan foto tata panggung untuk segera diupload ke path.
Didik mengatakan ada berbagai workshop yang menjadi andalan untuk menarik minat pengunjung. Ada ruang animasi yang dapat diakses gratis, untuk rombongan. Workshop wayang janur untuk semua kalangan, dengan charge Rp 15.000 setiap Selasa-Sabtu dan workshop gamelan dengan charge Rp 15.000 per orang menjadi andalan untuk membuat pengunjung datang lagi. "Dua pekan mendatang di dalam pajangan akan disajikan kisah Mahabharata lengkap sampai perang usai, Parikesit naik takhta, supaya pengunjung terhibur dan semakin teredukasi," kata dia.
Namun, saat ini Museum Wayang kewalahan lantaran mutasi besar-besaran. "Yang PNS stand by hanya lima orang, lainnya seperti saya cuma honorer," kata dia. Sementara, banyak pekerjaan yang harus dikerjakan untuk memberikan pelayanan maksimal kepada publik. Penyatuan antara Museum Keramik, Museum Wayang dan Museum Tekstil menjadi Museum Seni, membawa dampak besar bagi produktivitas museum.
"Kepala museum akhirnya tak bisa hanya di sini saja karena fokusnya terpecah di tiga museum," kata dia. Rencananya, museum ini akan disegarkan pada 2016 mendatang.
DINI PRAMITA