Gudang Cantik di Tepi Sungai Chao Phraya Bangkok
Editor
Sunu Dyantoro
Minggu, 17 Maret 2013 18:26 WIB
TEMPO.CO, Bangkok- Pergumulan saya dengan Sungai Chao Phraya dimulai sejak berdiri di dermaga dekat Jembatan Saphan Thaksin. Titian sepanjang hampir 2 kilometer ini menghubungkan kota lama Bangkok di timur Chao Phraya dengan hasil pengembangan kawasan Bangkok yang lebih baru di seberangnya. Setelah antre di dermaga, sebuah kapal kayu membawa saya, Rabu 6 Maret 2013.
Kapal sigap membelah Chao Phraya, sungai yang terjaga kebersihannya. Langit sore dan gedung-gedung menjulang berpadu. Chao Phraya menjulur dari utara Thailand hingga ke Teluk Thailand yang menghadap ke Laut Cina Selatan. Ia mengular 372 kilometer. Chao Phraya tak hanya dilalui kapal wisata. Buat warga Bangkok, Chao Phraya merupakan salah satu jalur penting transportasi. “Bangkok macet. Banyak orang yang berangkat dan pulang kerja menggunakan kapal,” kata Vasu Thirasak, kolega Thailand yang mengundang saya. Saya diundang Mercure Bangkok Siam dan Ibis Bangkok Siam, dua hotel dalam satu bangunan di pusat ibu kota Negeri Gajah Putih ini.
Sembari menikmati pemandangan dan kapal-kapal wisata, saya menyaksikan di pelabuhan sungai yang lain bersandar beberapa kapal barang berukuran raksasa. Kedalaman yang mencapai 25 meter membuat Chao Phraya perkasa menyangga kapal bertonase besar. Begitu mata saya tercuri oleh kapal itu, Vasu Thirasak pun menunjuk ke arah kapal. Itu, kata dia, kapal pengangkut beras. “Beras didatangkan dari daerah di bagian utara Thailand, lalu dimasukkan ke gudang di Bangkok,” kata dia.
Tak jauh dari situ ada gudang milik Bulog-nya Thailand. Ingatan saya pun terbawa ke beras jatah buat bapak saya yang jadi guru. Saya kerap makan beras jatah panenan Thailand ini saat masih kecil. Thailand memang penghasil beras. Dan sampai sekarang Indonesia masih mengimpor beras dari Thailand.
Sekitar seperempat jam sedikit terguncang di tengah sungai, saya dan rombongan tiba di dermaga Asiatique The Riverfront, sebuah kawasan di tepian Chao Phraya yang tertata elok. Saya tiba di sana menjelang senja. Bangkok redup. Embusan angin sungai terasa semilir, seperti hendak membunuh panas Bangkok yang pada siang hari cukup untuk membuat tubuh bermandikan keringat.
Asiatique Waterfront sesungguhnya dulu kawasan pergudangan. Kini usianya sudah seratusan tahun. Pelabuhan pertama di Thailand ini disulap menjadi sebuah kawasan yang memadukan konsep belanja pasar tradisional dan mal. Bangunan bekas gudang dipoles kembali sehingga tak lagi kumuh dan seram. Aneka roda baja, tali sling, dan lempengan-lempengan baja yang dulu untuk keperluan bongkar-muat barang dipertahankan.
Dari ujung tepi Chao Phraya, kawasan pergudangan membentang sekitar 300 meter menuju jalan raya Charoenkrung, jalan raya pertama di Bangkok karena menjadi akses dari pelabuhan menuju kawasan kota Bangkok.
Adalah penguasa bir merek Chang produksi Thailand, Charoen Sirivadhanabhakdi, yang menginvestasikan duit 3 juta baht atau sekitar Rp 330 miliar. Chang sejak tahun lalu menjadi sponsor klub sepak bola bergengsi Eropa dari Spanyol, Real Madrid. Chang juga pernah menjadi sponsor Everton di Liga Primer Inggris. Namun guyuran duit sebesar itu tak dianggap besar oleh Thitirat Thongcharoensukchai, pejabat pemasaran Asiatique. Sebab, mereka lebih banyak mengoptimalkan tinggalan kompleks pergudangan. “Ini murah, karena kami memanfaatkan bangunan dan benda-benda yang sudah ada sebelumnya,” kata Thitirat.
Karena merupakan bekas kompleks pergudangan, gaya arsitekturnya tak rumit. Sekilas terlihat sebagai hanya kumpulan bangunan beratap melengkung dengan menonjolkan bata ekspose. Aneka sentuhan kayu bersih mengkilap, cat cokelat terang, serta unsur interior dan eksterior modern, menjadikan kawasan ini terlihat mewah. Bangunan kompleks pergudangan ini pun kini punya setidaknya 1.500 butik dan 40 restoran.
Trem, yang dulu digerakkan mesin uap, dipertahankan. Ia bergerak mengelilingi kompleks pergudangan sebagai kereta wisata. Di tepi sungai, terdapat patung buruh angkut barang yang kebanyakan adalah orang Tiongkok. Mereka bertelanjang dada dan kaki, dan berambut panjang dikelabang. Mereka memanggul karung berisi penuh barang. Becak tradisional yang ditarik manusia juga diabadikan dalam patung perunggu di bagian lain.
SUNUDYANTORO (BANGKOK)