TEMPO.CO, Bandar Lampung - Kalau kebetulan berkunjung ke Bandar Lampung pada libur Imlek akhir pekan ini, tak ada salahnya untuk mampir di salah satu toko penyedia kebutuhan Imlek di Teluk Betung. Berada di sudut Pasar Kangkung, Teluk Betung, Bandar Lampung, Toko Sukaraja memiliki sejarah panjang dalam perkembangan warga Tionghoa di Lampung.
Toko yang menyediakan berbagai perlengkapan sembahyang bagi agama Buddha dan Konghucu ini memadukan bisnis dan pelayanan terhadap umat. "Kami tidak boleh ambil untung banyak dan harus sabar melayani dan membimbing umat yang bertanya tentang kegunaan barang yang hendak dibeli," kata Yo Ching Ching, 41 tahun, pemilik Toko Sukaraja, Teluk Betung, Bandar Lampung, Jumat, 8 Februari 2013.
Yo mengatakan, toko miliknya merupakan yang tertua di Lampung. Toko yang khusus menjual pernak-pernik keperluan untuk ibadah warga Tionghoa itu dirintis oleh kakeknya, Lie Siaw Siong, pada 1970-an silam. "Awalnya sebuah kios kecil dan menjual barang secara sembunyi-sembunyi. Barang yang dijual tidak boleh ada tulisan Cina. Kalau ketahuan bisa didenda oleh aparat," katanya.
Awalnya, Lie Siaw Siong dan istrinya, Lie Kiun Yeuw, yang bersuku Khe memulai usaha dengan berjualan hio dan lilin dengan berkeliling. Keduanya memproduksi dua alat tersebut secara mandiri. Mereka berkeliling Kota Bandar Lampung menawarkan dari rumah ke rumah warga Thionghoa.
Bertahun-tahun berjualan membuat dan menjual hio berkeliling, keduanya lantas memutuskan mendirikan sebuah kios di sudut Pasar Kangkung. Kios kecil itu tidak terlalu mencolok, karena pada saat itu, penguasa Orde Baru melarang keras memamerkan ornamen dan kaligrafi Tiongkok. "Kalau bukan karena cinta dan pengabdian, tidak mungkin bertahan. Untung dari bisnis seperti ini sangat kecil," katanya.
Toko Sukaraja berkembang pesat setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengakui agama Konghucu dan mencabut larangan perayaan Imlek yang sudah berlangsung sejak Orde Baru berkuasa. Warga Tionghoa di kawasan Pecinan Teluk Betung, Bandar Lampung, selalu memadati toko berukuran 60 meter persegi itu setiap perayaan Cheng Beng, Ulambana, dan Tahun Baru Imlek. "Kalau hari-hari biasa sangat sepi. Tapi kami harus tetap buka karena selalu saja ada warga yang membutuhkan untuk sembahyang atau mengurus kematian," kata Jhon Siaw, yang selalu aktif menjelaskan kegunaan alat yang dibeli konsumen.
Yo Ching Ching dan Jhon Siaw merupakan generasi ketiga dari keluarga Lie yang mengelola toko itu. Kelima saudara Yo Ching Ching tidak ada satu pun yang mau mewarisi bisnis yang dirintis kakek mereka itu. Mereka lebih memilih bekerja di perusahaan swasta atau berbisnis lain di Jakarta.
Saat ini, toko milik Yo Ching Ching menyediakan lebih dari 200-an jenis barang keperluan peribadahan bagi warga Tionghoa. Toko yang bernuansa klasik dan serbamerah itu menyediakan hio, lilin, lampion, uang kertas, hingga cumi-cumi kering untuk keperluan ibadah. Sebagian besar barang-barang di toko ini, kata dia, didatangkan langsung dari Negeri Tirai Bambu dan Taiwan.
Pasokan dalam negeri hanya sebatas hio, kue tutun, dan lilin. Pernik seperti lampion, amplop angpao, uang kertas, hingga arak masih impor. "Kami sering tidak mendapat pasokan barang karena kesulitan mendatangkan alat-alat seperti itu ke Indonesia. Tidak jarang untuk dua hingga tiga kali perayaan Imlek dipasok sekaligus dalam satu waktu. Untuk itu kami menghindari pernak-pernik tematik, seperti gambar babi, naga, dan simbol-simbol tahun. Bisa kedaluwarsa," Yo menambahkan.
Setiap menjelang Imlek, Yo mengaku omzet penjualannya melonjak hingga sepuluh kali lipat dibanding hari-hari biasa. Rata-rata setiap warga berbelanja keperluan perayaan Imlek sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 2 juta. "Lilin, kue tutun, dan hio beraneka aroma merupakan buruan utama. Rasanya tidak sah kalau tiga barang itu tidak ada," katanya.
Kim Yin, 52 tahun, warga Gudang Kaleng, Telukbetung, salah seorang konsumen, mengaku sejak tahun 1980-an selalu membeli perlengkapan ibadah di toko itu. Untuk keperluan perayaan Imlek, Kim, atau yang hiasa disapa Ayin, bisa berbelanja hingga Rp 1 juta. "Untuk sebuah tradisi tidak ada kata mahal. Ini bentuk bakti kita kepada orang tua dan leluhur," katanya.
NUROCHMAN ARRAZIE
Berita Terpopuler Lainnya:
Daging Impor, Luthfi-Suswono Bertemu Bos Indoguna
KPK: Ahmad Fathanah Operator Penerima Suap
Hakim Daming Tak Bisa Bedakan Sisir dan Sikat Gigi
Capres 2014, Jokowi Diibaratkan Sebagai Anak Macan
Indonesia Disebut Terlibat Program Rahasia CIA
Rhoma Irama Mirip Ronald Reagan, Kata Didik