TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang senja, Waariyah memanggil kami yang sedang asyik berenang dan bermain air di pantai sekitar Pulau Taroa (Tarwa), Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. “Ayo makan dulu, beta su siapkan ikan bakar!” kata istri Syamsudin Bugis, pengendara perahu yang kami sewa dalam perjalanan menuju Tanimbar Kei, bulan lalu.
Inilah saat yang paling kami nantikan. Masih dengan badan dan rambut basah, kami antre. Belasan warga Taroa mulai berkumpul di gubuk milik Oman.
“Jangan khawatir kehabisan ikan, ini masih banyak yang belum dibakar,” ujar Waariyah sambil menunjuk baskom yang dipenuhi ikan kakap, garopa (kerapu), hingga tenggiri. Ukurannya dari yang hanya setelapak tangan sampai yang sebesar paha. Insang mereka masih berdenyut-denyut.
Waariyah tak memakai resep khusus untuk membakar ikan, yang dia pilih langsung dari jala nelayan yang baru mendarat. Ikan-ikan yang sudah dibersihkan tak dilumuri bumbu apa pun, langsung dipanggang di atas jejeran batang daun nyiur. Bahan bakarnya sabut kelapa. Aromanya tiada tara. Saat baru setengah matang, ikan-ikan itu diangkat dan dicelupkan ke dalam ember berisi air laut, lalu dibakar kembali. “Nah, ini bumbunya, supaya sedikit ada rasa.”
Yang spesial dari ikan bakar buatan perempuan 42 tahun ini ialah pelengkapnya. Waariyah membuat sambal mentah berbahan tomat, cabai merah, cabai rawit, dan daun kemangi yang diulek kasar. “Ini namanya sambal colok,” tuturnya. Pada suapan pertama, lidah seakan-akan disetrum rasa pedas, yang segera disusul cucuran keringat.
Karbohidrat berasal dari embal, makanan pokok orang Kai. Embal adalah olahan kasbi atau singkong beracun yang tumbuh subur di tanah Kai. Supaya racunnya hilang, parutan kasbi diperas berkali-kali dan dijemur. Adonan parutan itu kemudian dicetak menjadi kepingan-kepingan kecil mirip kue waffle, lalu dikukus. Tampilannya kasar, mirip kerupuk, tapi rasanya tawar dan lembek saat digigit.
Muan bena!—“selamat makan” dalam bahasa Kai.
PRAGA UTAMA