Saat ini, Kastil Tsurugajo berisi museum sejarah, sementara di halamannya terdapat taman tradisional, kedai teh, dan 1.000 pohon sakura. Di dekatnya ada Aizu Bukeyashiki, tempat kepala klan Aizu, Saigo Tanomo, tinggal bersama keluarga, pelayan, dan prajuritnya.
Kastil Tsurugaji merupakan rumah 38 kamar, yang menggambarkan gaya hidup mewah, yang berakhir secara tragis selama jam-jam terakhir Perang Boshin. Saat kekalahan klan Aizu di depan mata, istri Saigo membunuh tiga anak mereka dan kemudian bunuh diri bersama dengan putrinya, saudara perempuan dan anggota keluarga lainnya. Saigo, tak mati dalam pertempuran, ia hidup sampai usia 70-an.
Aizuwakamatsu juga dikenal untuk pembuatan sake, onsen, dan masakan lokal seperti kozuyu, sup untuk pernikahan dan acara-acara khusus lainnya yang terbuat dari sayuran akar, kerang kering, jamur, dan makanan lainnya.
Wappameshi adalah hidangan nasi sederhana dan bahan-bahan lain yang dikukus dalam wadah cedar melingkar, sedangkan saus katsudon adalah potongan daging babi dilapisi tepung roti dengan saus tebal dan disajikan dengan nasi dan kol. Sedangkan ramen telah lama populer, dan di Kitakata terdekat - di mana terdapat 120 toko ramen - juga populer untuk sarapan.
Aizuwakamatsu bagian paling selatan adalah Ouchijuku, kota pos tua itu menghubungan Kota Aizu dan Nikko. Jalanannya, merupakan rute untuk mengangkut beras yang dipersembahkan kepada para tuan tanah.
Meskipun sudah berusia ratusan tahun, masih ada 48 bangunan beratap jerami asli dari Zaman Edo (1603-1818) yang bertahan, berbaris di kedua sisi jalan tua. Salah satunya menjadi restoran yang menyajikan mie soba, toko cinderamata, dan beberapa minshuku (penginapan yang menyediakan sarapan).
Kastil Tsurugajo di Fukushima tempat pertahanan terakhir samurai melawan pasukan kerajaan. Foto: @tsurugajo
Di barat Aizuwakamatsu terdapat Yanaizu, desa pemandian air panas onsen, yang menyenangkan di Sungai Tadami. Yanaizu merupakan rumah bagi 3.400 orang dan tujuh ryokan, kuil ini terkenal dengan Fukumankokuzobosatsu Enzo-ji, sebuah kuil yang dibangun di atas tebing yang kerap menggelar festival budaya.
Festival itu menampilkan para lelaki yang hanya mengenakan cawat berlari menaiki tangga batu ke aula utama kuil dan berdesak-desakan berebut satu tali untuk membunyikan gong. Bagi mereka yang mampu membunyikan gong, akan menjadi pria beruntung pada sisa tahun.