Banguanan Istana Siak Sri Inderapura di kota Siak, Riau, 30 Oktober 2014. Istana tersebut dibangun pada tahun 1889 saat masa pemerintahan Sultan Syarif Hasim. TEMPO/Riyan Nofitra
TEMPO.CO, Jakarta – Kabupaten Siak, Provinsi Riau, berikhtiar melestarikan pemakaian tanjak, sebuah ikat kepala khas kebudayaan Melayu di kalangan masyarakat. Hal ini dimaksudkan guna menghidupkan kembali ciri khas suku tersebut.
Bupati Siak Syamsuar di Siak, Jumat, 3 Februari 2017, menerapkan kebijakan pemakaian tanjak di kalangan Aparatur Sipil Negara di lingkungan Pemerintah Kabupaten Siak setiap Kamis dan momen-momen tertentu.
”Pemakaian tanjak digalakkan untuk menghidupkan kembali identitas kebudayaan Melayu di tengah masyarakat . Sebelumnya, gerakan berbusana dan berbahasa Melayu juga sudah kami terapkan di Kabupaten Siak,” Kata Bupati Siak Syamsuar.
Dia mengatakan gerakan bertanjak adalah salah satu cara untuk mempopulerkan kembali kebudayaan Melayu pada masyarakat itu sendiri ataupun luar.
Tanjak dianggap sebagai kewibawaan di kalangan masyarakat Melayu, yang digunakan untuk penutup kepala. Pada zaman dahulu, semakin tinggi dan kompleks bentuknya menunjukkan status sosial si pemakainya.
Erwin Waka, Ketua Komunitas Tanjak Kabupaten Siak, berkomitmen akan menghidupkan kembali pemakaian tanjak di kalangan masyarakat, terutama anak muda. Menurut dia, tradisi memakai tanjak sudah mulai hilang di kalangan anak muda Melayu.
Dia mengatakan saat ini perajin tanjak sudah mulai memproduksi ikat kepala tersebut dan bisa didapatkan di Pasar Seni Siak. Beberapa minggu terakhir, keuntungan dan jumlah permintaan sudah mulai meningkat.
Dia berencana berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memperkenalkan tanjak kepada setiap pengunjung yang datang ke istana Siak. Dengan begitu, wisatawan yang datang di luar Riau akan mengenal salah satu ciri khas kebudayaan Melayu.
”Nantinya, pengunjung laki-laki akan menggunakan tanjak, dan perempuan memakai selendang,” ucapnya.