Sejarah 'Kampung Solo' di Kaki Gunung Semeru
Editor
Rini Kustiani
Senin, 17 September 2012 11:21 WIB
TEMPO.CO, Lumajang - Di kaki Gunung Semeru, tepatnya di Pedukuhan Watu Kandang, Desa Penanggal Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang, Jawa Timur ternyata ada 'Kampung Solo'.
Di kampung yang berada di pinggiran hutan Jati di kaki gunung api paling tinggi di pulau Jawa ini, tinggal puluhan kepala keluarga yang memiliki latar belakang wong Solo.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, julukan 'Kampung Solo' ini lebih dikenal daripada nama dusunnya sendiri, yakni Watu Kandang. Ketika menanyakan Kampung Solo di desa sekitar, pasti akan merujuk pada sebuah pemukiman yang berada di pinggiran hutan Jati di sebelah Timur di kaki Gunung Semeru.
"Kalau berkirim surat ke alamat di Pedukuhan Watu Mandang, harus ditambahkan kata Kampung Solo di belakang alamat yang dituju supaya surat dipastikan sampai," kata Semin, warga 'Kampung Solo' yang ditokohkan masyarakat setempat, Ahad 16 September 2012.
Semin yang berusia sekitar 65 tahun ini juga berdarah Solo. Ibunya orang Jogyakarta dan bapaknya asli Solo. Tapi dia lahir di Blitar sebelum kemudian pindah ke desa di kaki Gunung Semeru ini.
"Disini memang dikenal Kampung Solo. Dulunya banyak yang berasal dari SOlo. Namun saat ini sudah campur," kata Semin.
Menurut dia, sebelum jaman penjajahan Jepang dulu, sudah banyak orang Solo yang bermukim di Desa Penanggal ini. "Kalau sekarang sudah beranak cucu, jumlahnya jadi ribuan dan berpencar di sejumlah desa di kaki Semeru," ujarnya.
Semin mengatakan, sebagian besar yang berada di Desa Penanggal ini memang orang kulonan seperti Ponorogo, Blitar dan Solo. Semin menduga banyaknya orang Solo yang bermukim di kaki Gunung Semeru lantaran pada zaman penjajahan Belanda, banyak warga Solo yang lari ke gunung-gunung.
Sementara itu, sejarawan dari Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit, Lutfiati mengatakan pada era penjajahan Belanda ada fase eksodus besar-besaran warga ke jawa bagian Timur.
"Banyak perkebunan yang membutuhkan tenaga kerja. Apalagi politik pintu terbuka Belanda saat itu," kata lulusan sejarah Universitas Negeri Malang ini.
Lutfi juga mengatakan, tenaga kerja besar-besaran yang didatangkan Belanda saat itu karena adanya perang berkepanjangan yang menimbulkan banyak korban di kalangan pribumi. "Sehingga banyak orang Mataraman yang kemudian diboyong ke wilayah Timur," katanya.
DAVID PRIYASIDHARTA
Berita terpopuler lainnya:
Foto Toples Kate Juga Muncul di Koran Irlandia
Kelas Menengah Bisa Tentukan Kemenangan Jokowi
Situs Porno Minati Foto-foto Hot Kate
Kekasih Olla Ramlan Calon Wakil Bupati Tangerang
Peluang Menang Jokowi dan Foke Imbang
NU Bolehkan Hukum Mati Koruptor
Google Ternyata Pernah Menyewakan Kambing
Siapa Penentu Kemenangan Foke atau Jokowi?
Renang Indah PON Kacau
Vilanova Sanjung Fabregas