Memukau, Desa Ini Memang Pantas Jadi Desa Wisata Pertama
Reporter
Non Koresponden
Editor
Ludhy Cahyana
Selasa, 10 Desember 2019 08:31 WIB
TEMPO.CO, Denpasar - Sebuah desa yang masih terikat dengan adat yang hidup berabad-abad, biasanya memiliki keunikan tersendiri. Begitulah Desa Penglipuran, yang memegang teguh konsep Tri Hita Karana, filosofi masyarakat Bali mengenai keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia ,dan lingkungannya.
Desa ini meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional. Menurut Kementerian Paraiwisata dan Industri Kreatif, Desa Penglipuran Kabupaten Bangli ini, menjadi desa wisata pertama di Indonesia. Penetapannya dilakukan pada 1995.
Berjalan-jalan di Desa Penglipuran, wisatawan bisa mendapati rumah-rumah berarsitektur Bali tradisional. Desa ini juga bersih. Saking bersihnya, tak ada tong sampah di halaman rumah warga desa. Pada tahun itupula Desa penglipuran meraih Kalpataru karena usahanya melindungi kawasan hutan bambu.
Mereka menjalankan dan melestarikan budaya tradisional Bali di kehidupan mereka sehari-hari. Arsitektur bangunan dan pengolahan lahan masih mengikuti Tri Mandala, yang dibagi dalam tiga area: Utama Mandala (area suci untuk para dewa berupa pura), Madya Utama (tempat tinggal warga), dan Nista Mandala (tempat yang tidak suci).
Beragam prestasi dan keistimewaan Desa Panglipuran ini, dikemas dalam Penglipuran Village Festival (PVF). Dihelat saban awal Desember, Kemenparekraf menginginkan wisatawan terus kembali ke Desa Penglipuran.
Tenaga Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Pemasaran dan Kerja sama Pariwisata I Gde Pitana, ketika membuka PVF 2019 di Desa Wisata Penglipuran, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali, Senin (9/12/2019), mengatakan PVF 2019 merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas desa wisata Penglipuran serta desa lainnya di kawasan Bangli.
Festival budaya PVF itu diselenggarakan oleh masyarakat bersama Pemerintah Kabupaten Bangli serta pengelola Desa Wisata Penglipuran dan telah memasuki tahun ke-7, “Dalam program Bali Recovery, Kemenparekraf selain memberikan dukungan pada event PVF juga pada Festival Kintamani dalam upaya meningkatkan kualitas serta citra pariwisata di Kabupaten Bangli dalam upaya meningkatkan kunjungan wisatawan,” katanya.
Ia menjelaskan, festival harus diartikan sebagai salah satu bentuk investasi untuk mengenalkan destinasi ke dunia internasional. Namun harus dilakukan secara konsisten dan dengan waktu yang sudah pasti, “Pengalaman menunjukan bahwa suatu festival harus dipastikan tempat, waktu, dan berbagai agendanya setahun sebelum hari H,” kata I Gde Pitana.
Pelaksanaan sebuah festival, kata Pitana, haruslah mempunyai visi yang pada ujungnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, sebuah festival yang penuh dengan nilai kreativitas yang tinggi, dengan nilai budaya yang harus bisa dikonversi menjadi kesejahteraan masyarakat.
Kesejahteraan ini bukan saja sifatnya sementara, melainkan harus berkelanjutan sehingga festival bisa menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi.
Penglipuran memang bisa menjadi contoh, bagaimana desa wisata dibangun. Prestasinya pun berderet. Pada 2016 Penglipuran terpilih sebagai desa terbersih ke-3 dunia versi majalah internasional Boombastic. Pada 2017 mendapat penghargaan Indonesia Sustainable Tourism Award (ISTA).
Lalu pada 2017 menjadi peringkat terbaik untuk kategori pelestarian budaya. Penghargaan terbaru, Penglipuran dan Pemuteran masuk dalam Sustainable Destinations Top 100 versi Green Destinations Foundation.
PVF diselenggarakan setiap akhir tahun dirangkaikan dengan penyambutan tahun baru. Rangkaian kegiatan PVF 2019 antara lain pembukaan yang menampilkan Parade Pakaian Adat Bali Tempo Dulu, Barong Ngelawang, dan Parade Seni Budaya lainnya, serta aneka lomba.