TEMPO.CO, Denpasar - Festival Jatiluwih yang digelar di Desa Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, sejatinya merupakan festival budaya yang memikat. Keindahan alam Jatiluwih, kebijakan adat dan budaya, layak menjadi festival unggulan. Apalagi, dalam pembukaan melibatkan warga desa menari kolosal di pematang sawah.
Namun acara ini belum mencapai target. Tenaga ahli Menteri Pariwisata bidang pemasaran dan kerjasama I Gede Pitana menilai promosi acara Festival Jatiluwih ke-III yang digelar pada 20-22 September 2019 masih kurang.
“Promosi harus ditingkatkan, peran media massa yang bisa menginformasikan ke publik,” katanya, Jumat, 20 September 2019. Ia menyebutkan, untuk jadwal acara harus dipastikan setahun sebelum acara digelar. Hal ini agar wisatawan jauh-jauh hari sudah bisa mengatur waktunya untuk datang berkunjung.
Selain itu, Pitana menilai, harus ada pra-event sebelum acara puncak digelar bertujuan agar lebih banyak menyedot wisatawan untuk datang. “Mungkin bisa dibuatkan lomba tradisional,” ujarnya.
Pitana juga mengajak manajemen Jatiluwih yang menjadi penyelenggara Festival Jatiluwih bisa belajar dari festival di Sanur, Denpasar. “Jangan menunggu menteri atau bupati, waktunya harus pasti,” katanya.
Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menggelontorkan dana senilai Rp 300 juta untuk perhelatan Jatiluwih Festival. Meski berpotensi besar menyedot wisatawan, festival itu belum masuk dalam kalender event Kementerian Pariwisata. Untuk persoalan itu, menurut Pitana, Kemenpar menetapkan kriteria, festival harus sudah lima kali digelar, "Jatiluih baru tiga kali,” ujarnya.
Festival Jatiluwih sudah mengalami peningkatan secara tata kelola manajemennya. Pitana menyebutkan, hal itu dilihat dari peserta pameran yang sudah semakin baik, “Kami lihat bagaimana hidangan laklak atau rujak sudah memenuhi standar pariwisata,” katanya.
Sebelumnya, saat pembukaan sebagaimana dinukil dari bisnis.com, Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti mengatakan, potensi wisata Jatiluwih dari sisi lanskap alam memang indah. "Festival ini dihelat di tengah hamparan pemandangan persawahan dengan tanaman padi yang sedang tumbuh dipagari gunung dan perbukitan," ucap Bupati Eka.
Desa Jatiluwih, menurutnya, memiliki keunikan alam yang unik, yang menjadikan desa itu ditetapkan sebagai warisan Budaya Dunia, dengan aktivitas budaya pertaniannya dalam wadah lembaga.
"Karena itu, sangat tepat Festival Jatiluwih ke tiga ini mengusung tema Sri Pahngayu Jagat, dimana hakikat Dewi Sri dalam falsafah Hindu Bali adalah kuasa atas kelahiran dan kehidupan, representasi yang disimbolkan dengan padi," katanya.
Jatiluwih bisa menjadi destinasi wisata budaya dan agrowisata, karena wisatawan dapat langsung terlibat dalam aktivitas pertanian di daerah tujuan wisata (DTW), sehingga pertanian menjadi aset yang sangat berharga bagi para petani.
Advertising
Advertising
Wanita Bali menampilkan Tari Rejang Kesari saat pembukaan Jatiluwih Festival 2019 di kawasan cagar budaya pertanian Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (20/9/2019). Festival tahunan yang berlangsung 20-22 September 2019 tersebut diisi dengan berbagai atraksi seni budaya untuk memajukan pariwisata di kawasan pertanian yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia (WBD) oleh UNESCO. - Antara/Nyoman Hendra Wibowo
"Selain itu, pengembangan kepariwisataan di kawasan ini dibangun dengan konsep pariwisata untuk petani, sehingga petani adalah aktor dari kegiatan pariwisata dan mendapat manfaat dari pariwisata," ujar Eka. Jatiluwih Festival ini, menurut Eka, sangat memotivasi masyarakat Jatiluwih dan Pemerintah Kabupaten Tabanan, untuk melestarikan alam dan budaya.
Bupati Eka menambahkan, Festival Jatiluwih menampilkan berbagai potensi pertanian, mulai dari produk olahan pertanian, sajian kuliner, aktivitas panen tradisional dan pengolahan lahan pertanian secara tradisional.