Begini Rasanya 4 Jam Jadi Crazy Rich Asians di Singapura

Rabu, 24 Juli 2019 17:09 WIB

Gedung Raffles Hotel yang megah bergaya kolonial dari sisi tengah. TEMPO/Francisca Christy Rosana

TEMPO.CO, Jakarta - Ada kalimat yang meneguhkan, bagaimana para konglomerat Asia melihat realita, “Remember, every treasure comes with a price,” kata Kevin Kwan dalam bukunya, Crazy Rich Asians, yang terbit pada 2013.

Buku Kwan diadaptasi dalam film berjudul sama, yang digarap sutradara kawakan Jon M. Chu lima tahun setelah buku itu rilis. Dalam buku dan film itu dikisahkan kompleksitas percintaan perempuan biasa dengan pria yang berasal kalangan dari konglomerat kaya di Singapura.

Ide cerita yang konon klise, namun dikemas segar, itu telah memotret kehidupan orang-orang di negeri singa yang bergelimang kemewahan.

Pada sebuah scene, tokoh dalam film yang naskahnya ditulis ulang oleh Peter Chiarelli dan Adele Lim, yakni Araminta Lee (diperankan oleh Sonoya Mizuno) dan Colin Khoo (diperankan oleh Chris Pang), dikisahkan menikah di Chijmes, Victoria Street. Dari situ pulalah awal cerita kemegahan hidup para konglomerat Singapura digambarkan.

Dari Chijmes, TEMPO mencoba menyusuri sejumlah lokasi yang digunakan untuk syuting Crazy Rich Asians pada akhir pekan 20 Juli lalu. Tur ini dipandu oleh seorang guide bernama Goh Zhen Yu dari Monster Day Tours. Tempo memesan paket tur ini melalui aplikasi Agoda yang direkomendasikan dalam Things To Do. Tur berdurasi 4 jam dan ditempuh dengan jalan kaki.

Advertising
Advertising

Bangunan Chijmes di Victoria Street, Singapura, bagian dalam tampak seperti katedral pada zaman neo-Ghotic. TEMPO/Francisca Christy Rosana

Menunggang bus nomor 167 jurusan Capitol Building dari China Town—tempat TEMPO menginap, bangunan yang ikonik di kawasan Victoria itu dapat dijangkau dengan waktu tempuh lebih-kurang 16 menit. Tiba di bangunan itu, kesan pertama yang merasuk dalam amatan adalah: perkawinan budaya antara Eropa, China, dan sedikit sentuhan Melayu. Ya, bangunan yang usianya sudah ratusan tahun lantaran berdiri sejak pertengahan tahun 1800-an itu memang hasil akulturasi.

<!--more-->Konon, bangunan ini merupakan sekolah Katolik homogen untuk anak-anak perempuan. Bangunan ini pulalah saksi bisu berdirinya kawasan The Holy Infant Jesus di Victoria Street. Tahun demi tahun, sekolah perempuan ini berkembang menjadi panti asuhan. Sedangkan gedung utamanya dimanfaatkan sebagai gereja.

Bangunan tersebut sempat vakum pada 1940-an lantaran terimbas bom. Kala itu, Perang Dunia II pecah. Belakangan, kompleks Chijmes mengalami renovasi dan kembali dimanfaatkan sebagai ruang publik. Saat ini, bangunan utama Chijmes lebih kerap dimanfaatkan untuk pesta pernikahan para “crazy rich Singapore”. Harga sewanya tampak mahal—dan biasanya orang yang menikah di Chijmes bukan berasal dari kalangan biasa.

Bagi turis, Chijmes adalah ruang foto yang ideal. Arsitektur khas Katedral dengan lekukan atap yang neo-Gothic membuat pengunjung seolah berada di zaman 1700-an. Unik dan sangat arsty. Saat Tempo berkunjung, gedung itu tengah disiapkan untuk pesta pernikahan sehingga tak dapat leluasa menyusuri bangunan utama.

Di bagian belakang gedung utama Chijmes, kini dibangun deretan restoran dengan ragam menu berbeda. Ada menu Eropa, Jepang, Asia, dan Cin. Tentu saja orang-orang yang makan di restoran ini juga termasuk golongan “rich” karena harga menu yang disajikan tak main-main. Bagi turis yang sudah jauh-jauh datang, bolehlah sesekali menjajal. Mengeluarkan kocek sedikit lebih banyak rasanya tak sia-sia karena: “kapan lagi makan dengan pemandangan bangunan yang fantastis.”

Penampakan kamar suites Raffles Hotel di Singapura yang megah. TEMPO/Francisca Christy Rosana

Atawa, bagi yang ingin bersantai, Chijmes kini menyediakan ruang terbuka hijau. Taman kecil ini terletak di antara restoran dan gedung utama katedral. Di sana, belasan bean bag teronggok. Wisatawan bisa duduk-duduk santai, membaca buku, atau sekadar berfoto layaknya seorang “crazy rich”.

Beranjak dari Chijmes, Yu mengajak menyambangi Raffles Hotel. Lokasi Raffles Hotel bisa ditempuh dengan jalan kaki dari Chijmes karena masih berada di kompleks jalan yang sama. Dalam film Crazy Rich Asians, hotel ini merupakan tempat menginap dua tokoh utama, Rachel Chu dan Nick Young.

Raffles hotel konon menjadi bangunan bersejarah di Singapura yang eksis sejak 1887. Bangunan hotel ini bergaya kolonial dan sampai saat ini arsitekturnya sama sekali tidak berubah. Nama hotel Raffles diambil dari nama akhir pendiri Singapura, Thomas Stamford Raffles. Sesuai namanya, hotel ini adalah bangunan peninggalan sang tokoh. Penghargaan terhadap Raffles pun ditunjukkan dengan diletakannya patung kecil tokoh itu di tengah kompleks hotel.

Menyusuri Hotel Raffles, mulut tak bisa berhenti berdecak. Semua lantai bangunan ini terbuat dari marmer murni. Arsitekturnya detail dengan bahan-bahan furnitur kelas premium.

Hotel memiliki sekitar 22 kamar dengan harga sewa mencapai Rp 140-an juta per malam. Tentu saja orang yang menginap berasal dari golongan tertentu. Namun, ada pula kamar standar yang harga menginap per malamnya menurut situs Agoda dipatok Rp 9 jutaan.

Di sisi lain hotel, tepatnya di lantai dua, terdapat sebuah bar bergaya kolonial bernama Long Bar. Di sini, pengunjung dapat menjajal alkohol atau rum yang diracik dengan mesin manual. Sambil menyeruput segelas alkohol, amatan akan dimanjakan dengan interior yang serba kuno; seperti kipas angin berbaling satu yang umum berada di bar-bar Belanda tempo dulu. Ada pula drum-drum anggur yang diposisikan acak dan berfungsi sebagai pemanis ruangan.

Hotel Raffles juga menyediakan butik yang menjual beragam aksesoris. Bernama The Gift Shop, barang-barang yang ditawarkan di etalase memang aksesoris yang cocok dibeli untuk oleh-oleh. Harga cenderamata di sini tentu saja berlipat lebih mahal ketimbang di Bugis Street, Little India, atau China Town. Namun, barang-barang yang dipajang sudah pasti berkualitas high premium.

<!--more-->Setelah berkeliling sekitar 30 menit di Hotel Raffles, Yu mengajak TEMPO menjalau lokasi syuting Crazy Rich Asians selanjutnya, yakni di kawasan Katong. Katong adalah pecinan kuno atau area peranakan yang berkembang sejak abad ke-18. Katong bisa ditempuh menggunakan MRT menuju Paya Lebar disambung bus atau taksi online.

Tiba di Katong, Yu menunjukkan sebuah kios jajanan pasar tradisional bernama Rumah Kim Choo. Gerai ini menjual beragam makanan peranakan, seperti kuecang, lapis, putu, dan dadar gulung. Gerai Rumah Kim Choo berada di kompleks pertokoan Katong. Bagi yang menonton film Crazy Rich Asians, pasti ingat tokoh semi-antagonis Michelle Yoh berjalan di koridor pertokoan Cina yang autentik. Nah, di sinilah tempatnya.

Tak lama-lama berada di Katong, tur dilanjutkan menuju kompleks mewah selanjutnya, yakni Singapore River yang lokasinya berhadap-hadapan dengan Fullerton Hotel. Sungai ini menandai awal peradaban Singapura. Di tengah sungai ini terbentang sebuah jembatan yang dulunya merupakan suspension bridge. Di jembatan ini, turis-turis biasa berfoto berlatar gedung-gedung mewah dan kapal yang melintas di sungai.

Dalam film gubahan Chu, kapal bermata ikan ini menggambarkan ikon Singapura yang lekat dengan kehidupan maritim pada tempo dulu. Kapal berwarna hijau muncul sebagai ikon, yang menggambarkan kehidupan negeri Singa dari sudut pandang lain.

Konon, menurut Yu, kapal berwarna hijau dengan gambar mata ikan itu sarat makna. Pembuatnya memaksudkan kapal itu mesti siap menghapi rintangan apa pun yang muncul. Para turis bisa menikmati secuplik Singapura dengan menunggang kapal ini dengan membeli tiket.

Bila malas mengantre, turis bisa membeli tiket menyusuri sungai dengan Singapore Cruise bermesin listrik melalui aplikasi Agoda. Bernama “Singapore River Cruise E-ticket”, tiket naik kapal ini dijual seharga S$17,43 atau setara dengan Rp170.000-an. Saat menunggang kapal itu, wisatawan diajak menjalau kawasan Fullerton Hotel, Marina Bay Sands, Marlion Park, hingga Victoria Building dengan durasi lebih kurang 45 menit.

Sungai di sepanjang selatan Singapura ini tampak benar-benar bersih. Airnya bening dan tidak berbau. Dulunya, sungai ini pernah jorok karena orang-orang Singapura yang berjualan di mulut sungai membuang sampah ke air. Namun, pemerintah melakukan tindakan tegas dengan merevitalisasi habis-habisan.

Walhasil, seperti sekarang, Singapore River menjadi tempat yang sangat nyaman. Mungkinkan sungai di Jakarta disulap sebersih dan sewangi Singapore River?

Cruise di Singapore River yang mengantar turis berkeliling di kawasan Marina Bay Sands hingga Victoria Building. TEMPO/Francisca Christy Rosana

Puas menyusuri sungai yang bernilai sejarah tinggi, perjalanan selanjutnya adalah Fullerton Hotel untuk memecah penasaran. Di muka hotel, tamu akan disambut sebuah bangunan mirip kerajaan di Eropa yang menghadap langsung ke mulut sungai.

Di depan bangunan itu terbentang beberapa tiang bendera. Kata Yu, pihak hotel mengganti bendera di hotel itu saban hari. “Bendera yang dipasang berasal dari beragam negara, ini untuk menghormati tamu-tamu yang datang dari banyak negara,” ujarnya. Namun, karena saat itu berdekatan dengan hari kemerdekaan Singapura, pihak hotel pun memasang bendera negeri singa.

Menapaki sisi dalam hotel, amatan lagi-lagi dibuat takjub. Hotel beratap tinggi itu mempunyai interior yang sangat mewah. Menariknya, dulu kala hotel ini merupakan kantor pos pertama di Singapura sekaligus menandai titik nol kilometer negara itu.

Masih terpampang jelas kotak pos yang tingginya hampir 2 meter berwarna merah menyala. Di situ, pengunjung bisa mengirim kartu pos untuk siapa pun, ke negara mana pun. Di sana tersedia kartu-kartu pos yang secara gratis bisa dimanfaatkan oleh turis untuk mengirim selembar “halo” dari Singapura kepada para kerabatnya.

Syaratnya, turis tinggal membawa prangko. Setelah itu, kartu diberi stempel, dan dimasukkan ke kotak. Kartu pun siap meluncur.

Kemewahan Fullerton Hotel tak sampai di situ. Di basement hotel, TEMPO diajak menilik deretan mobil klasik keluaran Inggris, Rolls Royce, terparkir. Setidaknya ada tiga mobil dengan tahun keluaran berbeda-beda. Mobil ini digunakan untuk menjemput tetamu hotel dari dan menuju bandara.

Di film Crazy Rich Asians, mobil ini muncul dengan lambang kemewahannya. Salah satu yang digunakan dalam film itu muasalnya pun dari Fullerton Hotel ini. Siap berkeliling Singapura dengan mobilnya para crazy rich?

Menuju matahari tenggelam, TEMPO tak lama-lama berada di hotel. Seperti akhir film itu, menikmati Marina Bay Sands dari balik Merlion Parks adalah ide menarik. Disambut langit yang biru jernih, sore itu hampir sempurna. Di balik bangunan ikonik negeri singa, tur itu ditutup dengan canda renyah bersama orang-orang lokal yang menikmati kota pada sore hari.

Tapi tunggu, kok banyak terdengar orang berbahasa Indonesia? Oh tentu saja, Marlion Park adalah tempat wajib orang Indonesia berfoto kalau berkunjung ke Singapura.

Berita terkait

Startup Asal Bandung Produksi Material Fashion Berbahan Jamur, Tembus Pasar Singapura dan Jepang

8 jam lalu

Startup Asal Bandung Produksi Material Fashion Berbahan Jamur, Tembus Pasar Singapura dan Jepang

Startup MYCL memproduksi biomaterial berbahan jamur ramah lingkungan yang sudah menembus pasar Singapura dan Jepang.

Baca Selengkapnya

Kemendag dan KBRI Gelar Pameran Fesyen di Singapura, Total Transaksi Capai Rp 4,2 Miliar

1 hari lalu

Kemendag dan KBRI Gelar Pameran Fesyen di Singapura, Total Transaksi Capai Rp 4,2 Miliar

Kementerian Perdagangan dan Duta Besar RI untuk Singapura menggelar pameran fesyen di Singapura. Total transaksinya capai Rp 4,2 miliar.

Baca Selengkapnya

Jokowi Terima Kunjungan Menlu Singapura di Istana

2 hari lalu

Jokowi Terima Kunjungan Menlu Singapura di Istana

Presiden Jokowi terima kunjungan Menlu Singapura.

Baca Selengkapnya

Ada Aurora Borealis di Gardens by the Bay Singapura, Mirip di Kutub Utara

2 hari lalu

Ada Aurora Borealis di Gardens by the Bay Singapura, Mirip di Kutub Utara

Tapi pada 5 Mei, lampu-lampu indah auroa borealis akan tampil perdana di Gardens by the Bay.

Baca Selengkapnya

Jokowi Keluhkan Banyak Masyarakat Berobat ke Luar Negeri, Ini 3 Negara Populer Tujuan Wisata Medis WNI

2 hari lalu

Jokowi Keluhkan Banyak Masyarakat Berobat ke Luar Negeri, Ini 3 Negara Populer Tujuan Wisata Medis WNI

Presiden Jokowi mengeluhkan hilangnya Rp 180 triliun devisa karena masih banyak masyarakat berobat ke luar negeri.

Baca Selengkapnya

Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

3 hari lalu

Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

Presiden Joko Widodo atau Jokowi acap menyampaikan keresahannya soal warga negara Indonesia yang berbondong-bondong berobat ke negara lain, alih-alih dalam negeri.

Baca Selengkapnya

Jokowi Keluhkan Banyak WNI Berobat ke Luar Negeri, Ini Kilas Balik Menteri Luhut Berobat di Singapura

3 hari lalu

Jokowi Keluhkan Banyak WNI Berobat ke Luar Negeri, Ini Kilas Balik Menteri Luhut Berobat di Singapura

Salah satu menteri Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan, diketahui pernah berobat hampir sebulan di Singapura pada November tahun lalu.

Baca Selengkapnya

Ini Penyebab WNI Berobat ke Luar Negeri, yang Dikeluhkan Jokowi Sedot Devisa Rp180 T

3 hari lalu

Ini Penyebab WNI Berobat ke Luar Negeri, yang Dikeluhkan Jokowi Sedot Devisa Rp180 T

Presiden Jokowi menyoroti kebiasaan sejumlah WNI yang berobat ke luar negeri sehingga berpotensi menyedot devisa Rp 180 triliun, apa sebabnya?

Baca Selengkapnya

Ini Negara dengan Internet Tercepat di Dunia, Indonesia Urutan ke Berapa?

4 hari lalu

Ini Negara dengan Internet Tercepat di Dunia, Indonesia Urutan ke Berapa?

Speedtest Global Index Ookla membuat peringkat kecepatan Internet di 142 negara per Maret 2024. Indonesia kalah dari Kamboja.

Baca Selengkapnya

Bandara Changi di Singapura Dinilai Terbaik untuk Layanan Imigrasi

4 hari lalu

Bandara Changi di Singapura Dinilai Terbaik untuk Layanan Imigrasi

Bandara Changi menawarkan check-in dan registrasi masuk otomatis, sistem otentikasi biometrik, dan kecerdasan buatan untuk mengangkut bagasi.

Baca Selengkapnya