Menyeruput Kopi Arabika Sembalun Lombok yang Hampir Terlupakan
Reporter
Antara
Editor
Rita Nariswari
Kamis, 20 Desember 2018 07:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sekantong kopi dalam balutan kertas warna emas itu menarik mata saya. Bagaimana tidak, label di bagian depan kantong tersebut tertera Kopi Sembalun. Nama kopi yang tergolong jarang terdengar. Kopi arabika Sembalun, dari kaki Gunung Rinjani, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, memang belum banyak diikenal oleh para pecinta kopi.
Popularitasnya kalah jauh dengan Kopi Java, Kopi Toraja, Kopi Gayo, Kopi Wamena, Kopi Kintamani, Kopi Sidikalang, Kopi Lanang, dan Kopi Sumatera. Namun jangan salah jika kita mencicipi kopi Arabika dari Sembalun ini dipastikan akan jatuh hati dan ketagihan dengan cita rasa asamnya yang terasa kuat.
Saat ini, kopi arabika Sembalun seolah-olah masih tertidur lelap setelah pada 1962 sempat ditanam oleh warga melalui program pertanian dan perkebunan sejenis kredit usaha tani (KUT) saat itu. Namun pada 1967 akibat para petani tidak mampu membayarnya, hingga mereka menggantinya dengan lahan kopinya dan diberikan kepada negara.
Mulai saat itulah, usaha kopi meredup dan penduduk pun beralih menjadi petani sayuran. Kebun kopi yang diserahkan kepada pemerintah itu terbengkalai. Bahkan Kebun kopi yang dimiliki para petani itu di ketinggian sekitar 1.300 Meter sampai 1.600 di atas permukaan laut sudah masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Rinjani. "Informasi itu saya dapatkan dari orang tua saya, petani tidak bisa bayar KUT itu kemudian lahan kopinya diserahkan ke pemerintah," kata tokoh pemuda di Sembalun Lawang, Rusmala.
Baca Juga: Pelabuhan Gili Mas Lombok Barat Akan Jadi Destinasi Baru
Namun, pohon kopi itu tetap tumbuh dan berbuah meski tidak diurus seperti lazimnya pohon kopi. Warga pun masih diperbolehkan untuk memetik buahnya. Buah kopi itu untuk minum sehari-hari karena meminum kopi di daerah itu sudah menjadi budaya.
Namun, ada beberapa petani di Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung yang sengaja membawa bibit kopi tersebut dan ditanam di depan rumahnya untuk sekadar penghias halaman rumah. Paling tidak di satu rumah ada yang menanam antara 1-4 pohon. Hasilnya digunakan sendiri atau barter dengan kebutuhan sehari-hari di pasar.