Kain Tenun hingga Adu Ketangkasan Lelaki, Pesona Dusun Ende
Reporter
Supriyantho Khafid (Kontributor)
Editor
Tulus Wijanarko
Selasa, 20 November 2018 15:48 WIB
TEMPO.CO, Mataram - Di atas lahan seluas satu hektar itu terdapat 31 rumah penduduk yang disebut Bale Tani. Bangunannya terbuat dari dasar tanah liat dan berdinding anyaman bambu beratap alang-alang. Pintu rumahnya agak rendah sehingga untuk masuk ke dalam harus menunduk. Inilah dusun Ende yang berada di Desa Sengkol Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Lantai rumah terbuat dari campuran tanah dan kotoran ternak sapi atau kerbau. Adonan itu disebut sebagai semen cap kaki empat. Untuk membersihkannya, warga mengepel seminggu sekali, dan saat itu akan menimbulkan aroma ''pabrik semen''. Ukuran rumah bervariasi antara 4x5 meter atau 3,5x6 meter.
Ada 30 kepala keluarga dan total 135 jiwa mendiami dusun Ende, yang konon sudah ada sejak 100 tahun yang lalu itu.
Kehidupan sehari-hari penduduk Dusun Ende adalah bertani. Namun sejak 1997, Dusun Ende yang berjarak tempuh 90 menit dari ibukota Nusa Tenggara Barat, Mataram, atau sekitar 30 menit dari kota Praya - ibukota Kabupaten Lombok Tengah, itu ramai dikunjungi wisatawan.
Menurut Ketua Pemangku Adat di Dusun Ende, Tamat, pada akhir pekan pelancong bisa mencapai 400-500 orang. Mereka ingin melihat keunikan rumah dan adat istiadat di sana. ''Kami mengelola kunjungan wisata ini melalui Kelompok Sadar Wisata Sasak Ende,'' kata dia.
Dusun Ende ini juga tidak jauh dari Dusun Sade yang kondang itu. Di dusun Sade ini terdapat rumah tradisional suku Sasak. Kalau anda melakukan perjalanan dari Mataram atau Praya, Dusun Ende berada sekitar dua kilometer sebelum Dusun Sade.
Siang itu, Sabtu 17 November 2018, 200an orang karyawan PT Pengembangan Pariwisata Indonesia yang sehari-hari disebut ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) yang tengah merayakan 45 tahun perusahaannya mengunjungi Dusun Ende. Di sini, ITDC bersama Kementerian BUMN sudah membantu membangun fasilitas sanggar seni atau pentas terbuka, galeri tenun, dan juga mushala yang masing-masing berukuran sekitar delapan kali empat meter.
Para tetamu yang datag disambut kalungan selendang Sasak. Lalu ada kelompok musik tradisional Sasak Gendang Beliq yang memainkan komposisi setemapt. Para pemainnya mereka mngenakan baju lambung adat Sasak warna hitam. Sementara para ibu dan anak duduk di sisi kiri jalan kedatangan.<!--more-->
Wisatawan yang datang dihibur atraksi alat musik Genggong. Alat ini terbuat dari bilah bambu dan menggunakan tali senar yang ditarik-tarik pemainnya.
Kemudian, ada atraksi tradisional Peresean yang merupakan adu ketangkasan antar dua laki-laki. Mereka saling memukul menggunakan tongkat rotan, Masing-masing juga memawa tameng kulit untuk melindungi dari gebukan lawan. Ini semula dilakukan untuk mengharap turun hujan. ''Jika ada yang keluar darah terkena pukulan rotan, itu tanda hujan akan turun,'' ujar pembawa acara menjelaskan.
Di sini wisatawan bisa membeli hasil bumi berupa pisang, telur ayam kampung dan makanan tradisional kampung Klepon Kecerit. ''Bahkan ada juga yang menyediakan Songgak,'' ucap Tamat. Songgak adalah obat kuat yang dibuat dari telur ayam kampung dan telur bebek.
Pengunjung juga bisa melihat warga termasuk anak-anak yang menenun di depan rumahnya. Seperti yang dilakukan Yayuk Pujiartini, 10 tahun, yang masih kelas empat di sekolah dasar. Anak keenam dari pasangan Sukardi dan Inaq Sutini ini bisa membuat selendang tenunan Sasak. Hasilnya dimasukkan ke galeri sebagai tempat berjualan koperasi milik warga tersebut.
Berapa tarif masuk ke desan Endea? Pengunjung hanya diharapkan menyumbang seikhlasnya melalui kotak yang disiapkan. Terkadang dalam sebulan mereka bisa mengumpulkan Rp 33 juta. Tentu itu jumlah yang cukup berarti.
SUPRIYANTHO KHAFID (ende)