Sisa Bangunan Kayu Situs Liyangan Awet Ribuan Tahun, Ini Sebabnya
Reporter
Pito Agustin Rudiana (Kontributor)
Editor
Tulus Wijanarko
Jumat, 9 November 2018 09:15 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Tiga unit sisa bangunan berhasil ditemukan di Situs Liyangan di Dusun Liyangan, Desa Purbasari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, belum lama ini. Itu adalah temuan kesekian Tim Penelitian Situs Liyangan Balai Arkeologi DI Yogyakarta yang telah memulai penelitian di sana sejak 2010 hingga 2018.
Penemuan pertama pada 2010, kedua 2012, dan ketiga 2018 yang menjadwalkan penelitian 18 Oktober – 4 November 2018. Bentuk temuannya berupa ijuk, bambu, dan kayu yang sudah berujud arang.
Semua sisa bangunan yang baru digali di bagian permukaan itu semula ditemukan terkubur material vulkanik Gunung Sindoro yang meletus hebat pada abad 11 Masehi. Yang menarik, situs yang diperkirakan dihuni sejak peradaban abad 2 Masehi dan berakhir abad 11 Masehi itu masih awet, meskipun lapuk.
Menurut Ketua Tim Penelitian Situs Liyangan Balai Arkeologi DI Yogyakarta Sugeng Riyanto, ijuk, kayu, dan bambu itu masih bisa dikenali karena berubah menjadi arang setelah tertimbun material vulkanis Sindoro yang panas. Sugeng ditemui di Kantor Balai Arkeologi DIY, Jumat, 2 November 2018.
Material itu tidak terbakar, karena material pertama yang jatuh dari letusan Sindoro adalah pasir yang sangat panas. Menguto seorang ahgli geologi, Sugeng mengatakan pasir yang panas itu adalah material pertama yang membakar bahan-bahan organik tersebut. Apabila dilakukan ekskavasi (penggalian) pada lapisan itu akan terlihat lapisan pasir yang tidak padat, tetapi renggang karena saat jatuh dalam kondisi sangat panas.
Material kedua yang terlontar dari Sindoro dan jatuh menimbun adalah material abu. Kemudian material pasir yang lebih tebal, tetapi tak sepanas pasir yang pertama. Lapisan pasir yang tebal ini yang menjadi sasaran penambangan warga beberapa waktu lalu.
Ketebalan material Sindoro yang mengubur kawasan Situs Liyangan yang meliputi area candi atau pemujaan, pertanian, dan permukiman berkisar 6 meter – 14 meter. Area candi terkubur material setebal 8 meteran, area pertanian setebal enam meter, area permukiman 5 meter – 6 meter, dan sisi lain di luar area candi ada yang terkubur sedalam 14 meter.<!--more-->
Lantaran kayu, bambu, ijuk yang terbakar material panas itu tidak mendapatkan oksigen, kemudian berubah menjadi arang. Material-material organik itu pun terkonservasi secara alami. Meskipun bagian yang ditemukan tidak utuh, tetapi bentuknya masih bisa dilihat.
“Kalau setelah terbakar pasir, bahan organik itu tidak tertutup abu, pasti habis jadi abu. Itu keuntungannya,” kata Sugeng yang juga Kepala Balai Arkeologi DIY.
Ada dua proses yang memungkinkan benda atau bangunan dari material organik pada peradaban lampau sulit ditemukan, kecuali yang berbahan batu dan logam. Pertama, kayu biasa yang tidak terbakar akan habis karena terurai. Kedua, kayu yang terbakar dan masih mendapat oksigen sehingga akan habis menjadi abu.
“Jadi proses konservasi alami material organik itu seperti membuat arang. Kan mineral pada kayu enggak ada. Lalu jadi arang yang sulit diurai,” kata Sugeng. Meskipun arang itu awet, sisa bangunan kayu yang ditemukan itu tak serta merta dibongkar untuk melihat struktur bangunannya secara utuh. Banyak bagian bangunan itu yang belum dibuka. “Kami tak berani bongkar. Karena lapuk.”
Teknik konservasi yang dilakukan untuk melindungi temuan itu ada dua strategi. Pertama, perlindungan situs dari pengunjung dengan memberi pagar agar kawasan steril serta menempatkan satpam dan juru pelihara situs untuk mengawasi lokasi. Pengunjung pun diimbau tidak masuk ke area ekskavasi karena rawan dan masih dalam proses penelitian.
Kedua, perlindungan situs secara fisik dan kimia. Perlindungan fisik dengan memasang paranet atau jaring plastic untuk mengurangi intensitas sinar matahari yang masuk dan menjaga kelembapan agar kayu tetap awet. Juga akan dipasang atap semi permanen pada sisi atas area ekskavasi. Sedangkan secara kimia akan menjalin kerja sama dengan Balai Konservasi Borobudur yang mempunyai pengalaman mengawetkan material organik.
“Kami juga ambil contoh arangnya untuk dibawa ke Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional). Biar diketahui umur kayunya,” kata Sugeng yang hasilnya kelak memperkuat dan memperjelas data umur situs tersebut.
PITO AGUSTIN RUDIANA (Yogyakarta)