TEMPO.CO , Makassar: Silolona adalah gadis Kepulauan Tanimbar. “Cantik, pandai menenun dan membuat kerajinan tangan,” ujar Patti Seery. Seperti Atuf—lelaki yang jatuh cinta kepada Silolona. Tapi kebersamaan mereka tak lama. Mereka terpisah karena Silolona meninggal. Mengenang sekaligus mengobati rindunya, Atuf membangun kapal yang dinamai Silolona. “Saya pun terinspirasi menggunakan nama yang sama,” kata Patti, pemilik kapal pinisi.
Sejak pertama kali datang ke Indonesia, pada 1980-an, perempuan asal Amerika Serikat ini jatuh cinta pada kapal-kapal kayu. Sebelum ke Indonesia, dia sudah banyak mendengar cerita tentang para pembuat kapal ulung di Nusantara. Hingga suatu hari di Amerika, sepulang dari Indonesia, dia bertemu dengan orang asal Desa Ara—kampung para pembuat pinisi—Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Pertemuan itu membawa Patti berkunjung langsung ke Ara. Ia mencari punggawa pinisi. Silolona dikerjakan di daerah Batu Licin, Kalimantan, dengan bahan kayu ulin, halaban, dan jati. “Kapal ini seperti seni. Saya tidak mau banyak barang di dek (geladak).”
Sebelum menjadi manajer Silolona, dia bekerja sebagai guru dan kolektor kain. Menurut Patty, kapal pinisi asli memuat barang atau kargo. Dan kapal kargo tidak bisa ditumpangi banyak orang. Silolona dijadikan kapal bisnis untuk disewa wisatawan. Tahun ini, Silolona genap 10 tahun berlayar. Adapun Si Datu Bua, yang disebut Patti sebagai anak Silolona, baru berumur 3 tahun.
<!--more-->
Silolona mempunyai ukuran 37 x 10 meter dan tinggi 4 meter. Idealnya, kapasitas kapal wisatawan ini maksimal 12 orang. Memiliki lima kamar tidur dan dilengkapi fasilitas yang nyaman untuk liburan. Kapal juga dilengkapi ruang pengendali kapal, ada dapur, dan tempat bahan makanan sampai 20 hari, yang dilengkapi cool room—ruang dingin untuk makanan. Sedangkan di bagian belakang kapal, ada ruangan khusus alat-alat menyelam.
Di lantai paling atas, ada ruangan terbuka serta tempat bersantai dan berjemur matahari. “Tempat ini biasa dipakai untuk acara makan bersama,” ujar Muhammad Nasir, salah satu kru kapal Silolona. Pria 43 tahun asal Desa Ara ini, dulunya, turut menggarap Silolona. Nasir bersama 16 kru—selain dari Makassar—dari Jawa, Sumbawa, Lombok, dan Bali akan menemani pelancong berlayar dengan Silolona.
Nasir bercerita, ia sudah berlayar lintas benua dengan Silolona. Sejumlah negara di Eropa dan Amerika serta Arab Saudi, Thailand, Myanmar, dan India adalah beberapa lokasi yang pernah disandari. Kata Nasir, jika tak ada carteran, Silolona akan bersandar di beberapa tempat. Salah satunya adalah Bali. “Kami juga biasa menunggu turis di Pulau Komodo atau Raja Ampat,” ucap Kelly Woolford, tour leader Silolona. Jika angin bersahabat, kapal ini akan berlayar ke Pulau Komodo pada Mei hingga Juni, dan Oktober menuju Raja Ampat, Papua.
Si “anak”, Kapal Si Dua Bua, ukurannya lebih kecil dari Silolona. Memiliki tiga kamar bernuansa Toraja. Si Datu Bua adalah julukan yang diberikan para pembuat kapal ini. Nama ini juga sama dengan panggilan yang diberikan bangsawan Toraja untuk Patti.
<!--more-->
Akhir September lalu, Silolona dan Si Datu Bua singgah di Makassar dan bersandar di Losari. Patti memenuhi permintaan sahabatnya, Daeng Serang Dakko—maestro gendang. Dua kapal pinisi ini berdempetan, menjadi ruang pertunjukan sang maestro dan anak-anak asuhnya dari Sanggar Alam Serang Dakko, yang tahun ini genap berusia 25 tahun.
Sejak pagi, para tamu dijemput dengan sekoci atau boat dari Dermaga Direktorat Polisi Perairan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan-Barat, di Jalan Ujung Pandang, Makassar. Sekoci berkapasitas sepuluh orang ini berlayar menuju Silolona dan Si Datu Bua, yang berjarak sekitar 300 meter dari dermaga.
Salah satu tamu yang hadir adalah Andi Maddusila Andi Idjo Patta Nyonri Sultan Alauddin II Karaeng Katangka, Raja Gowa ke-37. Menurut Maddusila, Patti adalah salah satu orang asing pemerhati Sulawesi Selatan. Menggunakan kapal pinisi sebagai kapas pesiar adalah satu bentuk perhatiannya terhadap kelangsungan budaya, sekaligus melestarikannya.
Siang itu, suasana Losari terasa berbeda. Ada dua kapal pinisi bersatu membentuk ruang pertunjukan beratap langit. Matahari tak terasa begitu garang, irama tabuhan gendang Daeng Serang seperti berpadu dengan angin.
REZKI ALVIONITASARI
Berita lain:
Menlu AS John Kerry Hadiri Pelantikan Jokowi
Raffi-Nagita Sah, Dahlan Iskan pun Menangis
Cerita Manajer Lion Air Ngamuk Versi Penumpang