Jejak Portugis dan Spanyol di Gereja Cebu Filipina
Reporter
Tempo.co
Editor
Rita Nariswari
Jumat, 21 Desember 2018 12:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kaki baru saja menginjak pelataran luas di pusat kota Cebu, Filipina. Pagi cukup cerah, meski baru pukul 09.00 sinar mentari sudah mulai menguat. Untung angin bertiup perlahan. Tengah menikmati udara segar, langkah terhenti karena seorang ibu dengan balutan busana putih-kuning mendekat. Saya pun melihat sekeliling, ternyata ada banyak perempuan dalam balutan busana yang sama. Ada juga putih dan rok merah keoranyean. Beberapa berdiri di sudut pelataran, sebagian duduk tepian, tak jauh dari Magellan's Cross.
Rupanya, ia menawarkan lilin yang biasanya dinyalakan sebelum memanjatkan doa di Magellan’s Cross. Sebuah kapel terbuka yang menjadi tempat dari salib kayu yang ditanamkan saat Portugis menginjakkan kaki di Cebu, Filipina. Aksi tersebut diperintahkan oleh Ferdinand Magellan, pria yang dipilih oleh Raja Portugis untuk melakukan ekspedisi ke wilayah Hindia Timur antara 1519-1522.
Saya pun melangkah menuju kapel. Cukup kecil sehingga orang yang datang untuk berdoa harus bergantian. Di salah satu sisi ada tempat untuk menyimpan lilin yang dinyalakan. Menengok ke atas ada lukisan khas tempat ibadah Kristian dan tentunya juga salib Magellan yang ternyata merupakan replikanya. Karena yang asli dirusak ketika Magellan meninggal dunia, kemudian Spanyol yang menjadi penguasa selanjutnya, membuatnya kembali sebagai tonggak dimulai penyebaran Kristen di Filipina.
Hanya beberapa langkah dari kapel, saya temukan bangunan lain yang juga diburu para peziarah pagi itu. Tak lain dari Basilika del Santo Nino. Wisatawan benar-benar berduyun-duyun menuju bangunan berwarna putih yang di beberapa titik terlihat abu-abu atau kehitaman itu.<!--more-->
Didirikan pada pada 1565, balisika minor ini menjadi gereja Katolik Romawi tertua di Filipina. Didirikan ketika Portugis mengirim ekspesidinya ke wilayah ini. Gereja ini telah dideklarasikan sebagai simbol kelahiran dan pertumbuhan Kristen di Filipina oleh Paus Paulus VI. Selain itu juga ditetapkan sebagai Ibu dan Kepala dari semua Gereja di Filipina.
Bangunan pernah mengalami kerusakan berat akibat guncangan gempa sebesar 7,2 Magnitodo pada 2013. Menara lonceng runtuh, juga beberapa sisi dari gereja. Pada Maret 2016, menara lonceng pun rampung direstorasi. Bagian luar memang putih keabu-abuan sehingga sekilas tak terlalu menarik. Namun, di bagian dalam dekorasi bisa ditemukan di mana-mana.
Baca Juga: Lapu-lapu City, Ini Kota Gitar di Filipina Sejak 1919
Di langit-langit yang supertinggi itu bergantung lampu-lampu kristal. Suasana hening terasa. Lampu juga cukup temaram. Saya melihat lebih lekat ke bagian atas yang berhias ukiran dan lukisan yang menunjukkan perjalanan Yesus. Bangku-bangku kayu panjang saat itu sebagian terisi. Berada di bagian delapan, saya tak bisa melihat dengan detail dinding di dekat altar. Namun tampak penuh warna keemasan. Di sisi lain, ada sebuah ikon dari gereja ini berupa patung Yesus semasa kecil yang dipersembahkan Ferninand Magellan untuk Rajah Humabon, Raja Cebu masa itu.
Semakin ramai orang masuk ke dalam gereja tertua di Filipina ini, saya melipir ke luar. Menemukan udara semakin panas dan semakin banyak orang berdatangan dengan payung-payung di tangan.