Mengenal Kerajaan Boti-NTT yang Memegang Teguh Adat dan Tradisi

Senin, 3 Desember 2018 18:00 WIB

Warga Suku Boti menyiapkan peringatan meninggalnya ibu Raja di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian

TEMPO.CO, Boti-NTT - Satu truk yang mengangkut seekor sapi besar tiba di pelataran kediaman Raja Boti, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pertengahan Oktober lalu. Sekitar enam warga Kampung Adat Boti bergotong-royong menurunkan sapi tersebut kemudian membawanya ke halaman belakang rumah raja. Di samping Ume Kbubu atau rumah bulat itu, puluhan laki-laki maupun perempuan meriung di bawah atap temporer yang terbuat dari pelepah dan daun lontar. Mereka sibuk menganyam daun lontar untuk dijadikan baki.

Puluhan orang lainnya sedang masak besar di dapur yang beratap pelepah dan daun lontar juga. “Kami sedang persiapan untuk memperingati dua tahun kematian ibu raja,” kata Oni Sae, salah satu warga Kampung Adat Boti. Saat Tempo bertandang dengan membawa pinang-sirih sebagai tanda bertamu, Oni langsung mempersilakan kami ke Lopo (pendopo). Lopo yang juga rumah bulat terbuka itu berada di depan Ume Kbubu.

Menurut Oni, keluarga Raja Boti, Namah Belu, memotong seekor kambing setiap hari untuk memberi makan kepada warga yang bergotong-royong menyiapkan segala keperluan peringatan kematian ibu raja tersebut. Kambing goreng itu pula yang disajikan untuk tim Tempo. “Setiap tamu yang datang harus menyicipi hidangan kami.”

Oni mengatakan persiapan itu sudah dilakukan selama dua pekan. Peringatan kematian kemungkinan bakal dilaksanakan satu atau dua bulan kemudian. Keponakan raja, Pah Sae, mengatakan acara besar itu butuh persiapan yang lama karena mereka mengumpulkan segala keperluannya perlahan-perlahan. Dalam acara peringatan nanti dibutuhkan ratusan ternak dan ayam.Warga Suku Boti menyiapkan peringatan meninggalnya ibu Raja di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian

Berkaca pada peringatan kematiah ayah Raja Boti Namah Belu, Usif Nune Belu, delapan tahun yang lalu, saat itu mereka mesti menyediakan 2 ekor sapi, 100 kambing, 200 babi, dan ratusan ayam.

Advertising
Advertising

Pada peringatan kematian ibu raja ini tak jauh beda. Sapi yang diangkut menggunakan truk itu akan digunakan untuk keperluan adat ini. “Kalau ayah raja perlu dua ekor sapi, ibu raja satu ekor. Babi, kambing, dan ayam jumlahnya sama,” kata pemuda 25 tahun itu.

Hewan-hewan itu akan digunakan sebagai persamuan untuk para tamu undangan. Baki-baki dari lontar tadi yang menjadi wadahnya. Hampir semua hewan yang disiapkan merupakan peliharaan raja. Menurut Pah, nanti akan hadir ribuan tamu undangan termasuk pejabat di Nusa Tenggara Timur di kampungnya. “Persiapan harus matang betul untuk menyambut para tamu,” ucap Pah.

Raja Boti, Usif Namah Benu, mengatakan peringatan ini sebagai warisan tradisi sehingga harus dilaksanakan. Ia tak memusingkan urusan biaya karena hampir semua kebutuhan tersedia dari alam.

Karena itulah, menurut Namah Benu, falsafah hidup warga Boti bahwa kesejahteraan dan kemaslahatan hidup hanya bisa didapat dengan menjaga dan merawat alam. Suku Boti sangat menghargai dan menghormati alam. Mereka menyadari bahwa kehidupannya sangat bergantung pada alam. “Kita manusia ini menjaga alam, maka alam akan menjaga kembali kita. Ini dipertahankan dari keturunan sampai sekarang masih berjalan,” ujar Namah.<!--more-->

Ia tak tahu pasti kapan Kerajaan Boti berdiri. Sebab, tak ada catatan maupun cerita lisan dari para pendahulu. Menurut Namah, ba’i (para pendahulu mereka) mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan tradisi untuk menyatu dengan alam. Prosesi tersebut di antaranya berupa upacara yang dilaksanakan tiga kali tiap tahun, yakni membersihkan kebun, setelah menanam, serta seusai memanen.

Ritual upacaranya adalah mulai dari menyiapkan binatang berupa kerbau, sapi, kambing, babi, atau binatang apa saja, serta hasil bumi, yakni ubi, pisang, jagung. “Satu tahun itu kami minta makanan dari alam. Kami dapat banyak, jadi kami pergi, kasih tahu, ini kami dapat hasilnya sekian,” ujar Namah.

Hasil bumi itu lantas dibawa ke tempat upacara yang disebut Fainmate. Tempat tersebut berada di sekitar hutan larangan. Luas hutan larangan sekitar 1.000 ratusan hektare. Letaknya bisa ditempuh satu hari jalan kaki dari Kampung Adat Boti. Di hutan ini juga diterapkan aturan, yakni siapapun tidak boleh mengambil apapun. Jika ada yang melanggar, misalnya mengambil sebatang kayu yang sudah roboh, orang tersebut harus menyiapkan persembahan berupa memotong hewan di hutan larangan.

Ladang tempat mereka bercocok tanam berada di sekitar hutan larangan. Jika akan membuka lahan baru, warga juga harus melakukan upacara. Menurut Namah, hasil bercocok tanam itu biasanya untuk dimakan sendiri oleh warga. Jadi tidak ada yang dijual!Kain tenun Suku Boti di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 5 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian

Jika warga butuh uang, biasanya mereka menjual kemiri, asam, atau binatang. Pohon kemiri dan asam memang tumbuh banyak di sekitaran Kampung Adat Boti. “Kami cari uang itu untuk beli sesuatu yang tidak kami buat di sini. Yang bisa kami buat di sini, ya tidak perlu membeli,” kata Namah.

Selain Fainmate, tempat ritual lainnya ada di dalam kampung. Bentuknya bundar seperti rumah khas sana. Namun hanya Usif yang boleh masuk ke dalamnya. Namah mengatakan di dalam rumah ibadah tersebut tersimpan pusaka peninggalan leluhur.

Dengan ritual yang begitu kental, masyarakat Boti juga memiliki aturan. Mereka tidak menggunakan listrik atau teknologi lainnya. Hanya beberapa orang saja yang diperbolehkan mempunyai telepon seluler dan motor. Genset listrik hanya tersedia di rumah tamu. Tak ada satu pun televisi di kampung itu. “Kalau ada televisi, nanti tradisi kami bisa luntur,” ujar Namah.

Kampung Adat Boti terletak sekitar 30 kilometer dari Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Suku adat yang mendiami pegunungan di Kecamatan Kie ini merupakan segelintir yang tersisa dari pewaris tradisi suku asli pulau Timor, Atoni Metu.

Kampung ini terbagi menjadi dua, yakni Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam sekitar 77 Kepala Keluarga atau 319 jiwa, sedangkan Boti Luar sekitar 2.500 jiwa. Hanya Kampung Adat Boti Dalam yang mewarisi dan mempraktikkan tradisi lokal dan agama asli yang disebut Uis Neno Ma Uis Pah, dewa langit dan bumi. Warga Boti Dalam tinggal di areal seluas 3.000 meter persegi yang dikelilingi pagar kayu. Sedangkan Boti Luar sudah beragama. Mereka menganut Kristen Protestan dan Katolik.<!--more-->

Warga Boti Dalam masih menganut kepercayaan bercorak animisme. Keyakinan dan kepercayaan Suku Boti disebut Halaika. Suku Boti percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah merupakan mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Uis Pah disebut juga sebagai Dewa Bumi.

Sedangkan Uis Neno adalah papa atau bapak, sebagai penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia. Uis Neno menjadi Dewa Langit. Bagi Suku Boti, hidup ini diatur oleh tiga kekuatan besar, yakni Uis Pah, Uis Neno, juga roh arwah leluhur (Nitu). Roh-roh leluhur ini dipercaya mendiami pohon-pohon besar yang berada di hutan terlarang mereka.

Meski warga Boti memeluk kepercayaan dinamisme, mereka tidak melarang masuknya ajaran gereja. Hanya saja, bagi warga yang ingin memeluk agama lain harus keluar dari Kampung Adat. Hal ini berlaku bagi siapapun, termasuk putra sulung Raja Boti (almarhum) Usif Nune Benu, Laka Benu.

Laka harus meninggalkan Kampung Boti karena dia mengimani katolik. Padahal Laka adalah putra mahkota Boti yang seharusnya menggantikan Usif Nenu yang meninggal sekitar 2005 lalu. Tradisi Boti mensyaratkan raja harus dipegang oleh orang yang mewarisi agama leluhur. Karena itulah, tahta Raja Boti kini dipegang Usif Namah Benu, putra kedua atau anak ketiga Usif Nune Benu.

Usif (Raja) bertugas sebagai pemimpin pemerintahan, adat, sekaligus pemimpin spiritual masyarakat Boti. Anak pertama Usif Nune Benu perempuan, Molo Benu, yang merupakan ibunya Pah. Di sana, perempuan tak bisa menjadi raja.

Pergantian raja itu juga tak serta-merta dilaksanakan. Ada jeda sekitar tiga tahun sebagai masa berkabung. Selama itu juga, warga Kampung Adat Boti dilarang mengadakan pesta. Saat Namah Benu dikukuhkan menjadi Usif (raja), mereka baru bisa menjalankan pesta ritual adat kembali.

Meski penerapan ajaran leluhur sangat kental, Kerajaan Boti tetap terbuka terhadap pendidikan. Namah Benu mengatakan warganya tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya. Dia mencoba menyatukan pengetahuan dari pendidikan formal dan tetap memelihara ajaran-ajaran tradisi. Dia juga menerapkan aturan soal pendidikan ini. Dari satu keluarga yang mempunyai empat anak misalnya, dua anak harus sekolah formal dan sisanya belajar mengenai tradisi dan adat. Dengan demikian, warga Boti tetap bisa melestarikan adat dan tradisi leluhur tanpa teralienasi dari peradaban.

Warga Kampung Adat Boti juga masih menjalankan aturan spesifik mengenai cara berdandan dan berpakaian. Salah satunya, para pria yang sudah menikah dilarang memotong rambutnya. Mereka harus menggelung hingga berbentuk seperti konde. Pria dan wanita yang sudah remaja hingga tua juga harus mengenakan kain tenun yang mereka buat sendiri. Warga tidak boleh mengenakan celana, rok, atau daster.

Untuk membuat kain tenun, mereka memintal benang dari tanaman kapas yang tumbuh di lingkungan sekitar. Sedangkan untuk perwarnaan, mereka menggunakan dedaunan dari alam yang diproses secara tradisional. Namun belakangan ini, warga Boti juga menggunakan bahan pewarnaan dari pabrik meski dibatasi.

Meski banyak aturan dan tradisi yang dijalankan, Oni Sae, dan warga lainnya tetap betah tinggal di kampung sana. “Ini jalan kehidupan yang baik bagi kami. Sebagai manusia, kita harus merasa cukup dengan yang ada dan menjaga alam supaya alam baik sama kita,” ujar perempuan 20 tahun itu.

Oni belum menikah. Jika suatu nanti ia jatuh hati dengan pemuda dari kampung lain, maka pemuda itu harus pindah ke Boti untuk mempersuntingnya. Hal ini berlaku bagi seluruh warga Boti Dalam.

LINDA TRIANITA (Boti)

Berita terkait

Melihat Alek Bakajang, Tradisi yang Mempererat Persaudaraan di Kabupaten Lima Puluh Kota

6 hari lalu

Melihat Alek Bakajang, Tradisi yang Mempererat Persaudaraan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Alek Bakajang diyakini masyarakat sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu, biasanya dilaksanakan tiga hari setelah Idulfitri.

Baca Selengkapnya

Asal-usul Tradisi Lomban Setiap Bulan Syawal di Jepara

9 hari lalu

Asal-usul Tradisi Lomban Setiap Bulan Syawal di Jepara

Tradisi Lomban setiap bulan Syawal di jepara telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Baca Selengkapnya

Digelar Tujuh Hari, Tradisi Seblang Olehsari di Banyuwangi Dipadati Pengunjung

9 hari lalu

Digelar Tujuh Hari, Tradisi Seblang Olehsari di Banyuwangi Dipadati Pengunjung

Seblang merupakan salah satu tradisi adat suku Osing di Banyuwangi dalam mengejawantahkan rasa syukurnya.

Baca Selengkapnya

Mengintip Bakdo Sapi di Boyolali, Tradisi Nenek Moyang yang Digelar setiap Akhir Lebaran

9 hari lalu

Mengintip Bakdo Sapi di Boyolali, Tradisi Nenek Moyang yang Digelar setiap Akhir Lebaran

Tradisi Bakdo Sapi digelar di akhir perayaan Lebaran, bertepatan dengan kupatan atau syawalan

Baca Selengkapnya

Lebaran Topat Lombok Barat Akan Diadakan di Pantai Tanjung Bias

15 hari lalu

Lebaran Topat Lombok Barat Akan Diadakan di Pantai Tanjung Bias

Lebaran Topat tahun ini akan digelar pada hari Rabu, 17 April 2024

Baca Selengkapnya

Berbagai Tradisi Lebaran di Luar Negeri, dari Arab Saudi hingga Senegal

18 hari lalu

Berbagai Tradisi Lebaran di Luar Negeri, dari Arab Saudi hingga Senegal

Setiap negara punya tradisi unik dalam merayakan hari raya Idulfitri atau Lebaran. Di Indonesia, Lebaran dirayakan pada 10 April 2024.

Baca Selengkapnya

Asal-Usul Tradisi Membangunkan Sahur di Indonesia

30 hari lalu

Asal-Usul Tradisi Membangunkan Sahur di Indonesia

Asal-usul tradisi membangunkan sahur di Indonesia diyakini telah eksis sejak Islam masuk ke Tanah Air dan memiliki sebutan berbeda di setiap daerah.

Baca Selengkapnya

Pesona Wae Rebo, Desa di Atas Awan yang Diakui Dunia

35 hari lalu

Pesona Wae Rebo, Desa di Atas Awan yang Diakui Dunia

Wae Rebo, desa di perbukitan Pulau Flores, NTT dinobatkan sebagai salah satu kota kecil tercantik di dunia oleh The Spector Index, serta diakui UNESCO

Baca Selengkapnya

Ramadan di Yogyakarta Diwarnai Kasus Antraks, Tradisi Berbahaya Ini Diminta Dihilangkan

42 hari lalu

Ramadan di Yogyakarta Diwarnai Kasus Antraks, Tradisi Berbahaya Ini Diminta Dihilangkan

Kasus suspek antraks di Sleman dan Gunungkidul, Yogyakarta, itu diduga kembali terjadi karena adanya tradisi purak atau brandu yang berbahaya.

Baca Selengkapnya

Rangkaian Tradisi Hari Raya Nyepi yang Sakral dan Penuh Makna

47 hari lalu

Rangkaian Tradisi Hari Raya Nyepi yang Sakral dan Penuh Makna

Nyepi bermakna sebagai hari kebangkitan, pembaharuan, toleransi, hingga kedamaian. Kenali tradisi Hari Raya Nyepi dalam berikut ini.

Baca Selengkapnya