TEMPO.CO, Jakarta - Bangunan peninggalan Jakarta abad silam bukan hanya bisa ditemui di Kota Tua. Di sekujur ibu kota, sisa-sisa kemegahan kehidupan tuan-tuan tanah Kompeni masih tegak berdiri. Pertengahan September 2016, yayasan penggemar sejarah, Sahabat Museum, mengadakan tour ke sejumlah lokasi yang dulunya merupakan rumah peristirahatan para meneer.
Lokasi pertama yang kami datangi adalah Rumah Van der Parra di Jalan Pangeran Jayakarta. Menurut Liliek Suratminto, pakar sejarah VOC dari Universitas Indonesia, yang memandu perjalanan, Gubernur Jenderal VOC itu merintis karier dari serdadu, juru tulis, lalu merangkak menjadi saudagar junior. Gubernur jenderal itu bernama lengkap Petrus Albertus van der Parra. Dia adalah gubernur jenderal ke-29 yang memerintah Hindia Belanda setelah Jacob Mossel.
Van der Parra dipercaya memerintah Hindia Belanda sejak 15 Mei 1761. Kekuasaannya berakhir pada 28 Desember 1775 pada usia 61 tahun, saat ia meninggal dunia. Rumahnya konon menjadi saksi betapa gubernur satu ini sangat doyan mengadakan pesta.
Tak diketahui berapa luas rumah peristirahatan sang gubernur ini. “Yang jelas sangat luas,” kata Liliek. Saya menduga sekitar 1 hektare. Saat ini, rumah itu sudah tak berjejak lagi, berganti dengan rumah-rumah warga.
Perjalanan berlanjut ke Gedung Arsip Nasional. Gedung ini tadinya adalah rumah peristirahatan milik Reiner de Klerk yang dibangun pada 1760. Saat itu, ia masih menjadi anggota Raad van Indie. Sepak terjang de Klerk dikenal melalui kiprahnya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-31 yang memerintah pada 1777–1780.
Dahulu, rumah peristirahatannya disebut Vila Molenvliet. Meski mendapat rumah dinas, dia lebih suka tinggal di Molenvliet di tepian Ciliwung, yang kini disebut Jalan Gajah Mada. Dia menempati rumah ini hingga meninggal dunia pada 1780.
Di Pasar Baru, ada rumah peristirahatan Frederik Julius Coyett. Bangunan yang terletak di Jalan Lautze itu kini menjelma menjadi Vihara Buddhayana. Coyett adalah seorang commandeur di bidang perdagangan. Kariernya moncer sehingga dapat mengumpulkan kekayaan sepanjang hidupnya.
Dia membangun rumah ini yang disebut Gunung Sari dengan sedikit mengadopsi gaya Jawa. Gaya itu sungguh berbeda daripada rumah peristirahatan tuan besar umumnya yang bergaya kolonial di tanah Belanda. Pada rumah Gunung Sari terdapat bagian mirip pendapa. Pilar-pilar besar dan luas pun berdiri kokoh pada bangunan itu.
Rumah ini menjadi saksi Coyett menikahi Geertruida Margareth Groossens di saat terakhir menjelang ajalnya. “Di malam pertama, Coyett meninggal sehingga Groossens mendapatkan warisan rumah itu,” kata Liliek.
Sepeninggal Coyett, silih berganti pemiliknya, hingga akhirnya dikuasai Kapten Cina Batavia Lip Tjipko. Sepeninggal Lip Tjipko, rumah ini beralih fungsi menjadi vihara hingga saat ini. Menurut Koming, salah satu abdi vihara, bangunan itu sudah ratusan tahun berfungsi sebagai tempat peribadatan. “Vihara ini berganti nama Buddhayana sejak 1859,” kata dia.
Konon, bangunan ini masih sama seperti aslinya. Hanya ada penambahan garasi di samping vihara. Dindingnya masih terbuat dari kapur pasir bata merah. Selain itu, banjir yang terus menerjang membuat pengurus harus meninggikan vihara hingga setengah meter.
Tur berlanjut ke bekas rumah Hendrik Laurens van der Crap di Cililitan, Jakarta Timur. Posisinya di depan Rumah Sakit Polri Soekanto, Kramatjati. Kondisi rumah yang dibangun pada 1775 ini sangat usang. Atapnya bocor sehingga cipratan airnya menimbulkan bekas kuning di dinding. Kesan kumuh kian kental karena permukiman padat di sekitarnya.
Warga memanfaatkan tiang pilar penyangga rumah untuk mendirikan rumah-rumah di sekeliling kediaman Van der Crap itu. Dan akhirnya, gambaran rumah besar dengan halaman superluas runtuh seketika. Rumah ini dua tingkat ini terdiri atas banyak kamar berukuran besar. Masing-masing kamar saat ini dihuni oleh satu keluarga.
Menurut Sunarto, yang tinggal di sana selama 44 tahun, ada 18 keluarga yang menempati rumah gedang itu. “Yang bisa tinggal di sini hanya yang berasal dari Polri dan anggota aktif,” kata pria 64 tahun itu. Sunarto mengatakan rumah ini aset Polri dan dia rutin membayar sewa tinggal. “Tapi perawatan dilakukan pribadi, misalnya ganti genteng yang rusak.”
Saking luasnya, menurut Liliek, luas pekarangan Van der Crap bisa mencakup satu rukun warga. Liliek mengatakan prajurit berpangkat letnan dua itu mengumpulkan kekayaannya merompak. “Dia sudah lima kali diadili,” kata Liliek.
Perjalanan sepanjang hari itu ditutup dengan cerita manis dari Palmerah. Di kantor Kepolisian Sektor Palmerah, kita bisa mendapati sekilas gambaran kehidupan masa silam. Rumah Andries Hartsinck, yang dibangun pada 1790, itu berdiri kukuh, nyaris tanpa perubahan.
Hartsinck adalah tuan tanah. Dia membangun rumah ini sekitar di pinggiran Kali Grogol, di tengah perkebunannya. Saat itu, Palmerah berada sekitar dua jam perjalanan kaki dari dinding Batavia. Pekarangan luas kini menjelma menjadi permukiman padat.
Pondok tetirah Hartsinck dalam perjalanannya sangat berpengaruh terhadap perkembangan Palmerah. Jalan kuno yang menghubungkan rumah ke pasar dan berujung di Stasiun Palmerah—yang dibangun belakangan—misalnya, adalah jalan utama yang digunakan saat ini.
DINI PRAMITA