TEMPO.CO, Yogyakarta - Pedagang kaki lima (PKL) yang semula membuka lapak di area alun-alun utara Keraton Yogyakarta menolak rencana pembagian waktu kerja (shift) penggunaan gerobak lapak yang disediakan pemerintah daerah. Alasannya, PKL di sana hanya berdagang saat musim liburan atau sekitar tiga kali dalam setahun. Bukan penjual harian seperti di Malioboro.
“Satu musim liburan itu 1-2 bulan kami jualan. Kalau pakai shift, berapa pendapatan kami?” kata Koordinator Pelaku Ekonomi Alun-alun Utara (Peta) Yogyakarta, Pratono kepada Tempo, Jumat, 4 September 2015.
Sejak proyek revitalisasi kawasan oleh Pemerintah DIY dan Yogyakarta dijalankan, ada larangan penggunaan alun-alun utara untuk lokasi jual beli sejak beberapa bulan lalu. Sekitar 500 pedagang terpaksa hengkang. Pemerintah hanya menyediakan 206 gerobak lapak untuk tempat jualan mereka di luar area alun-alun. Lantaran gerobak tersebut tak memenuhi jumlah pedagang yang ada, pemerintah berencana untuk membagi waktu kerja penggunaan gerobak. Semisal dari pagi-sore dan sore-pagi hari.
“Karena space-nya (untuk menempatkan gerobak) terbatas,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Permukiman, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIY Rani Sjamsinarsi saat dihubungi Tempo, Jumat, 4 September 2015.
Persoalan lain muncul, menurut Pratono karena mobil dan bus-bus pariwisata juga dilarang parkir di alun-alun. Kendaraan-kendaraan roda empat tersebut disediakan area parkir di Parkir Ngabean atau sekitar 300 meter di sisi barat alun-alun utara. Sebanyak 120 juru parkir anggota Peta tak lagi bisa mencari peruntungan dari parkir alun-alun. Dampak lainnya, tak ada lagi wisatawan yang membeli dagangan PKL yang biasa mangkal di alun-alun.
“Jadi kami yang belum dapat gerobak ya mumet. Yang sudah dapat mumet juga. Karena enggak ada yang beli,” kata Pratono.
Sejumlah gerobak tampak teronggok di sisi barat alun-alun. Banyak PKL yang tidak menggunakannya untuk berjualan. Mereka hanya berjualan pada Sabtu dan Minggu.
“Sabtu dan Minggu itu bonus,” kata Pratono .
Saat ini, Peta tengah menunggu audiensi dengan pemerintah Kota Yogyakarta dan DPRD Kota yang direncanakan pada 18 September mendatang. Mereka meminta agar ada relokasi agar tetap dapat berjualan.
Pembagian shift tersebut, menurut Penghageng Panitikismo, yang bertugas mengurusi aset Keraton Yogyakarta Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto adalah usulannya yang disampaikan kepada pemerintah DIY. Dia mencontohkan lahan di Sompilan yang terletak di timur keraton yang digunakan untuk berjualan makanan. Ada delapan lapak di sana. Namun tiap lapak dipergunakan oleh tiga penjual dengan waktu yang berbeda, yaitu pagi-siang, siang-sore, dan sore-malam.
“Harus mau (berbagi). Kalau mau julana ya tiap hari. Kalau cuma Sabtu-Minggu, akeh tunggale (banyak contohnya),” kata Hadiwinoto saat ditemui menjelang pemberangkatan jenazah istri Sultan Hamengku Buwono IX, Kanjeng Raden Ayu Nindyokirono di Bangsal Manis, pada kamis, 3 September 2015.
Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti yang datang melayat meminta masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam penataan tersebut.
“Sekarang dibangun dululah. Mohon partisipasinya,” kata Haryadi.
PITO AGUSTIN RUDIANA