TEMPO.CO, Purwokerto - Sedikitnya 500 pedagang bir menyurati Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang meminta agar pemerintah membatalkan aturan pelarangan penjualan minuman beralkohol di minimarket, sehingga mereka bisa kembali menjual minuman keras berkadar alkohol lima persen tersebut. Menurut para pedagang, larangan menjual bir mematikan mata pencaharian mereka.
"Kulonuwun Bapake, Assalam Mu'alaikum.... Inyong Wong Cilik Banyumasan, Golet duwite sekang dodolan bir. Urip inyong sekang dodolan bir Pak, dudu sekang begal utawa korupsi Dodolane cilik batine ya cilik dadi aja dipateni panganku. Nek bir ora olih didol, oplosane karo miras dadi gede.
Inyong wong cilik Banyumas mbiyen dukung bapake. Lah siki kok malah bapake gawe anak karo bojone inyong ora mangan. Kudune bapake mbatiri inyong ben tambah makmur ora malah gawe aturan sing marai inyong kere Kepriwe kie Pak. Pokoke inyong njaluk tulung aturane dicabut Pak...."
Sugiono, perwakilan pedagang sekaligus Ketua Persatuan Penjual Bir Banyumas, mengatakan tulisan tersebut bakal dikirimkan ke Jokowi yang menjadi pilihannya dalam pemilihan presiden 2014. "Aturan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel tidak masuk akal dan tak sesuai janji Jokowi saat kampanye yang pro-rakyat kecil," ujarnya, Kamis, 9 April 2015.
Jeritan Sugiono dan kawan-kawan yang dituliskan dalam secarik kertas hanya berselang beberapa hari setelah Menteri Gobel menandatangani regulasi larangan menjual bir di minimarket. Surat itu sebagai perwakilan suara hati nurani mereka yang terancam kehidupan perekonomiannya karena munculnya larangan Menteri Perdagangan pada 16 Januari 2015.
"Memang kami tidak menjual bir di minimarket, tapi kami juga ikut terkena imbas aturan itu. Banyak pedagang takut berjualan, padahal selama ini bir ini produk legal, diakui perdagangannya dan kami telah mengeluarkan uang untuk membayar retribusi kepada pemerintah daerah," kata Sugiono.
Menteri Rahmat Gobel melarang minuman beralkohol di bawah 5 persen dijual di minimarket. Penjualan minuman beralkohol golongan A hanya boleh dilakukan oleh supermarket atau hypermarket. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Dengan keluarnya aturan ini, pebisnis minimarket, termasuk pedagang kecil yang masuk kategori pengecer lainnya, wajib menarik minuman beralkohol jenis bir dari toko miliknya paling lambat tiga bulan sejak aturan ini terbit. Bir hanya boleh dijual di hypermarket dan supermarket, yang hanya ada di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
"Kami membaca dan melihat di Internet kalau Pak Jokowi bersama beberapa menteri kabinetnya, termasuk Pak Gobel, menerima jamuan minuman beralkohol sake saat perjamuan bisnis di Istana Jepang. Sementara, kok, di dalam negeri tidak boleh menjual minuman berakohol jenis bir," ucap Sugiono.
Sugiono mengatakan apabila bir dianggap merusak generasi muda, ma bukan alasan yang logis karena semua makanan yang terdaftar di Badan POM, seperti vetsin, penyedap rasa hingga pemanis buatan juga bisa menjadi penyebab penyakit diabetes dan jantung koroner yang kini menyerang anak-anak muda. "Selama ini yang mematikan itu oplosan bukan bir. Seharusnya yang diatur penjualannya ya oplosan," ucapnya.
ARIS ANDRIANTO