TEMPO.CO, Padang - Nagari Sumpur di Batiputih Selatan, Kabupaten Tanah Datar, merupakan kawasan yang masih memiliki banyak rumah gadang. Dulunya ada lebih dari 200 rumah gadang, tapi hancur dan terbakar semasa pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Kini hanya tersisa 68 buah. Pada pertengahan Mei dua tahun lalu, lima rumah gadang kembali hangus terbakar karena korsleting listrik.
Saya datang ke Nagari Sumpur karena ingin melihat pendirian kembali salah satu rumah gadang yang terbakar itu. Selama ini, jarang ada rumah gadang yang dibangun kembali. Selain biayanya mahal, tidak banyak tukang yang mampu membangunnya.
Sebuah pagi, akhir Januari 2015. Saya bersama puluhan orang mendaki bukit persis di belakang lokasi rumah gadang yang akan dibangun. Kami mengikuti penghulu kampung yang akan mencari pohon untuk tonggak tuo. Ini sebutan untuk tiang utama rumah gadang.
Pendakian yang melewati jalan setapak sepanjang 2 kilometer itu tidak terasa melelahkan. Mungkin karena sapaan semilir angin yang berembus dari Danau Singkarak di lembah sana. Segar sekali.
Di atas tubir bukit, rombongan berhenti. Tetua adat memandang sebuah pohon yang kayunya lurus. Ya, akhirnya pohon jua (Cassia siamea) setinggi 15 meter yang diperkirakan berusia 80 tahun itu dipilih untuk “tonggak tuo”. Kayu pohon ini sangat keras ketika kering. Ia tidak mempan dipaku.
Sesaat, pohon ditebang diiringi dengan doa secara Islam. Batang pohon yang sudah dibersihkan lalu diikat tali dan diseret beramai-ramai oleh para pemuda menuruni bukit menuju kampung. Selepas zuhur, akhirnya batang pohon itu sampai juga ke lokasi.
Rumah gadang yang akan didirikan ini milik Etek Siti Fatimah dari suku Panyalai. Sebelum terbakar, rumah dia adalah salah satu rumah gadang yang megah. Panjang seperti kapal karena ujung-ujungnya memiliki “anjuang” dengan dindingnya penuh ukiran. Anjuang adalah ruang tambahan yang lebih tinggi di masing-masing ujung bangunan.
Rumah gadang yang terbakar ini juga dijuluki “Rumah Gadang Midun” karena pada1990 pernah menjadi lokasi syuting sinetron TVRI Sengsara Membawa Nikmat dari novel karya Tulis Sutan Sati (1929). Tokoh utamanya adalah Si Midun yang diperankan Sandy Nayoan.
Di Minangkabau, rumah gadang merupakan rumah pusaka yang dimiliki kaum perempuan sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal masyarakat Minangkabau. Rumah gadang menjadi tempat untuk melangsungkan acara-acara adat dan acara penting lainnya, seperti batagak gala atau acara pengangkatan datuk, upacara kelahiran, serta pesta perkawinan.
Bangunan rumah gadang di Nagari Sumpur memanjang dari utara ke selatan. Ini dimaksudkan untuk membebaskannya dari panas matahari dan terpaan angin. Sedangkan bagian depannya ada yang menghadap ke timur dan barat.
Sore hari saya menyempatkan menyusuri jalan-jalan kecil di Nagari Sumpur, melihat-lihat rumah gadang yang masih ada. Sebagian sudah sangat tua, seperti sudah lama ditinggalkan penghuninya. Bahkan terkesan dibiarkan sampai roboh.
Bagi saya, yang paling menarik adalah bangunan yang memiliki anjung karena banyak ukiran pada dindingnya. Beberapa motif ukirannya khas Minang, seperti motif kaluak paku, daun bodi, saik ajik, dan siriah gadang. Tapi ada juga ukiran dengan motif mahkota Belanda dari mahkota Ratu Belanda Wilhelmina. Jejak berupa ukiran mahkota Belanda itu diduga karena adanya kedekatan pimpinan masyarakat Nagari Sumpur dengan pemerintah Belanda masa itu.
Mengikuti jalan setapak yang menurun, saya menemukan satu rumah gadang beranjung. Letaknya agak tersembunyi dari jalan utama. Saat mengagumi ukirannya yang masih menyisakan warna hijau dan merah, tiba-tiba pintunya terbuka. Ternyata rumah ini milik keluarga Datuk Batuah, seorang datuk atau pemimpin suku Panyalai yang sempat saya ajak ngobrol di warung kopi pagi tadi. Nama lengkapnya Munir Nasir Datuk Batuah.
Pak Datuk mengajak saya masuk. Dia sedang menyiapkan baju kebesaran datuknya, lengkap dengan tongkat dan keris. Busana itu akan ia kenakan esok hari pada acara pendirian rumah gadang Etek Siti Fatimah. Saya disuguhi sepiring buah sawo yang kesat dan manis.
Rumah ini tampak terawat meski sudah 20 tahun ditinggalkan keponakan perempuannya--yang menjadi ahli waris--karena pergi merantau ke Jakarta. Pak Datuk Batuah juga sudah lama tinggal di Jakarta. Dia pulang jika ada acara penting di kampung. “Rumah gadang ini kami rawat dengan biaya dari hasil panen padi di sawah warisan kami di Sumpur,” kata Pak Datuk. Tiap panen, hasilnya Rp 700 ribu setiap enam bulan diberikan untuk upah orang yang membersihkan rumah itu.
Ia menyayangkan banyak rumah gadang yang telah dirobohkan pemiliknya. Di sekitar rumahnya malah ada tujuh rumah gadang yang dibongkar dalam 10 tahun terakhir. ”Kayunya dijual, ada yang untuk kayu bakar,” ujar Pak Datuk lagi. Lalu di bekas rumah gadang itu dibangun rumah tembok, yang juga kemudian ditinggal pemiliknya karena hidup di rantau.
FEBRIANTI
Bagaimana Berwisata ke Nagari Sumpur
Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan, di Tanah Datar berjarak 80 kilometer dari Padang, dengan waktu tempuh 1,5 jam. Bisa menggunakan rental mobil Rp 450 ribu per hari. Bila ingin menggunakan kendaraan umum, dari Padang naik bus ke Padang Panjang dengan ongkos Rp 20 ribu. Disambung dari terminal angkot di Padang Panjang ke Batipuh Selatan dengan ongkos Rp 7.000. Berhenti di Simpang Nagari di Batipuh.
Rumah Gadang di Nagari Sumpur sudah mulai menerima tamu yang menginap, tapi untuk rombongan harus dipesan terlebih dulu. Untuk melihat-lihat rumah gadang dan budaya masyarakat, mereka sangat terbuka karena kawasan ini sudah ditetapkan menjadi “Warisan Budaya Nasional” pada 2013.
Tempat penginapan juga bisa di Hotel Sumpur di tepian Danau Singkarak, tidak jauh dari Nagari Sumpur.