TEMPO.CO, Yogyakarta - Tahun baru Imlek masih sepekan lagi, tapi Jimmy Sutanto sudah bersiap menyambutnya. Di rumahnya, di Jalan Ketandan, Kota Yogyakarta, lelaki keturunan Tionghoa berusia 69 tahun itu sibuk membuat kue keranjang. "Sejak tanggal 20 kemarin mulai membuat," kata dia, Selasa siang, 21 Januari 2014. Jimmy tak sendirian, tapi dibantu beberapa pekerja. "Hanya beberapa kuintal," ujarnya ketika ditanya jumlah produksinya.
Jimmy hanya membuat kue keranjang saat Imlek. Selain dijual di sejumlah toko oleh-oleh di Yogyakarta, sebagian dibagi-bagikan kepada tetangga. “Rasanya tak lengkap Imlek tanpa kue keranjang.”
Kampung Ketandan dikenal sebagai kawasan pecinan di Yogyakarta. Letaknya di sisi timur Malioboro. Sejumlah peninggalan berupa rumah berarsitektur Cina masih ada di kawasan perdagangan itu. Sejak tahun lalu, Pemerintah Kota Yogyakarta meresmikan kampung ini menjadi Kampung Wisata Tionghoa. Sebuah gapura dengan ornamen warna merah terpasang di pintu masuk jalan.
Jimmy, yang juga Ketua I Jogja Chinese Art and Culture Center, mengatakan keberadaan kampung ini tak lepas dari politik “adu domba” yang ditetapkan Belanda pada masa penjajahan. Setiap suku dipisahkan tempat tinggalnya. Mereka pun hanya bisa menjalani pekerjaan tertentu yang ditetapkan Belanda. “Nah, orang Tionghoa di Yogya dilokalisasi di tempat ini,” ujarnya.
Kini, jarak itu kian terkikis. Seiring dengan terbukanya ruang kehidupan demokrasi pascareformasi 1998. Sejak sembilan tahun lalu, sebuah pekan budaya Tionghoa digelar rutin saban tahun di kampung itu. Meski namanya Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta, budaya yang ditampilkan bermacam-macam. “Budaya-budaya se-Nusantara,” katanya.
Melalui asrama pelajar dan mahasiswa daerah di Yogyakarta, budaya-budaya daerah lain di Indonesia ditampilkan dalam pergelaran selama lima hari itu. Tahun ini, kata dia, dilaksanakan pada 10-14 Februari. "Selain menampilkan pertunjukan panggung, digelar karnaval budaya pada 13 Februari."
ANANG ZAKARIA