TEMPO.CO, Pekalongan - Pucuk-pucuk cemara bergoyang-goyang / Diterpa angin dingin bukit ini / Seperti mengisyaratkan doa / Rahasia alam diam di sekitarnya. Bait kedua lirik lagu Lolong itu, seolah menggambarkan kekaguman Ebiet G.Ade terhadap keelokan panorama di Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Pekalongan.
Lagu itu dinyanyikan Ebiet, saat reuni dengan tiga sahabatnya, di Teater Arena Taman Budaya Kota Tegal, 6 April lalu. Saat singgah di Desa Lolong, 1978 silam, Ebiet terinspirasi menggubah keindahan alam desa, yang letaknya sekitar 15 kilometer dari pusat Pekalongan itu, menjadi lagu. Lagu puitis itu pun, hingga kini masih akrab di telinga.
Sudah 35 tahun berlalu, moleknya pemandangan di Desa Lolong masih sama. Sejuk hawa perbukitan, gemuruh air Sungai Sengkarang, mewarnai keindahan desa yang baru ditetapkan sebagai desa wisata, oleh Pemerintah Kabupaten Pekalongan, tahun ini.
Pemuda setempat yang menjadi pemandu, Zain, 23 tahun, mengatakan Desa Lolong biasa dikenal sebagai surga bagi penggemar durian. Pengunjung bisa menikmati durian yang langsung dipetik dari ribuan pohon milik warga, dengan harga murah. “Tapi sekarang sedang tidak musim durian,” katanya. Gantinya, dia menawarkan rafting (arung jeram).
Dengan tarif Rp 180 ribu per orang, empat pengunjung bisa menikmati derasnya air Sungai Singkarang, di atas perahu karet dengan dua pemandu. Wisata rafting, baru beroperasi lagi sekitar satu bulan lalu. Sebab, saat musim kemarau, air di sungai berkelok yang diapit bukit hijau itu menyusut drastis, hingga bisa diseberangi dengan jalan kaki.
Paket wisata rafting itu cukup memacu adrenalin. Sebab, dari rute rafting sepanjang 8,5 kilometer, 80 persen di antaranya jeram yang dihiasi batu-batu besar. Namun, pengunjung tidak perlu cemas karena mengenakan helm dan rompi pelampung. Di sela mengayuh dayung, pengunjung juga bisa menyaksikan Jembatan Lengkung peninggalan Belanda yang melintang di atas sungai.
Untuk mengusir lelah dan bosan selama sekitar 2,5 jam mengarungi derasnya air sungai, pengunjung beberapa kali diajak menepi. Ada tiga titik pemberhentian. Pertama, di sebuah tebing dengan ketinggian sekitar lima meter. Bagi pengunjung yang bernyali, pemandu akan mengajak mereka mendaki tebing itu untuk kemudian terjun ke sungai dari atas.
Segarnya kelapa muda menjadi hidangan penutup bagi pengunjung yang telah menuntaskan rafting. Selanjutnya, sebuah mobil bak terbuka akan mengantar peserta rafting ke pos awal, melewati jalan berliku, menyibak kebun durian yang jumlahnya mencapai ribuan. Sebelum pulang, pengunjung disuguhi masakan tradisional urap.
Paket wisata rafting itu pertama digagas sekelompok pemuda pecinta alam sejak 2009 silam. “Setelah membeli peralatan, kami mendidik pemuda selama satu tahun, untuk jadi pemandu rafting. Tahun 2011 baru berani menerima pengunjung,” kata Wiwit, 34 tahun, pecinta alam asal Depok, Jawa Barat, yang kini menetap di Desa Lolong.
Selain membuka lapangan kerja baru bagi 30 orang pemuda, paket wisata rafting juga menambah kas desa yang dikelola warga.
Pemkab Pekalongan juga tidak menarik retribusi di Desa Wisata Lolong. “Lebih baik dikelola warga sendiri. Kebanyakan pengusaha dari luar hanya mencari keuntungan tanpa menghiraukan kelestarian lingkungan,” kata dia. DINDA LEO LISTY