TEMPO.CO , Jakarta:- Di bawah siraman sinar matahari yang baru saja beranjak naik, saya sudah ajrut-ajrutan di atas jip yang menerobos hutan di kawasan Dieng, Jawa Tengah. Jip bermesin 2.300 cc ini meraung-raung mendaki bukit terjal. Mobil dengan sistem penggerak empat roda atawa biasa disingkat 4-WD itu juga menerjang sejumlah rintangan, seperti semak-semak dan ranting pepohonan, yang menghalangi jalur berupa jalan setapak.
Pagi itu, saya bersama teman-teman dari Candradimuka Jeep Otoclub Banjarnegara tengah mencoba menikmati wisata Dataran Tinggi Dieng dengan cara berbeda. Awam biasanya menyebutnya wisata ekstrem. “Perjalanan ini memang butuh minat khusus, hanya untuk orang-orang yang gemar memacu adrenalin,” kata Ipung, seorang off-roader yang mengantar perjalanan kami dari balik kemudi.
Biasanya, untuk menuju kawasan wisata Dieng, kita melalui jalan landai yang melintasi Kabupaten Wonosobo. Tapi kami justru memulai perjalanan dari Wanayasa dan kemudian menerobos hutan hingga mencapai Karangkobar. Kedua tempat itu berada di Kabupaten Banjarnegara. Secara geografis dan administratif, Dieng sebetulnya masuk wilayah Banjarnegara. Tapi selama ini kawasan dataran tinggi itu lebih dikenal sebagai daerah di Kabupaten Wonosobo. Itu karena lebih mudah dijangkau melalui Wonosobo, yang letaknya lebih dekat ke Semarang dan Yogyakarta.
Menurut Ipung, kegiatan menjelajah Dieng dengan menggunakan mobiloff road mulai dikenal sejak sekitar enam bulan belakangan ini. Yang memperkenalkannya adalah The Pikas--singkatan dari Pinggir Kali Serayu. Ini komunitas yang mengembangkan wisata penjelajahan Sungai Serayu, terutama bagi wisatawan yang menggemari arung jeram dan kayak.
Komunitas itu menawarkan sebuah alternatif baru mengunjungi Dieng. Bagi Ipung, sebagai seorang off-roader, Dieng yang kontur alamnya berbukit-bukit cukup terjal merupakan medan jelajah yang menantang. Masih banyak hutan dan perbukitan yang bisa ditempuh khusus dengan mobil off road.
Tapi bagi saya, yang pertama kali ikut menjelajah dengan mobil off road, perjalanan ini sempat membuat ciut nyali. Di awal penjelajahan, perasaan takut begitu menindas pedalaman batin saya. Jika jip berjalan di jalanan aspal biasa, terasa tak ada bedanya. Larinya cukup kencang dan terasa gagah. Namun ketika memasuki hutan atau mendaki tebing terjal, perasaan mulai campur aduk antara takut dan ingin mencoba.
Perasaan dag-dig-dug itu kian menggila ketika mobil kami mencoba mendaki bukit cadas di dekat kawah Sikidang. Kawah yang letaknya sering berpindah-pindah itu mempunyai kontur tanah yang terjal. Di beberapa bagian terdapat aliran air panas yang mengalir di sebuah sungai kecil.
Nah, di bagian itulah kami mencoba menerobosnya. Awalnya lancar-lancar saja, tak ada hambatan yang berarti. Tapi, beberapa saat kemudian, mobil agak tersendat setelah bannya masuk ke lumpur yang sedikit panas itu. Saat itulah keringat dingin mengucur akibat deg-degan ditambah uap panas yang keluar dari kawah.
Mobil gardan ganda yang kami tumpangi akhirnya menyerah, terjebak dalam lumpur. Mobil ini kemudian ditarik oleh mobil lainnya agar bisa keluar dari kubangan. Selesai dengan lumpur, kami mencoba sebuah tanjakan batu kapur di bibir kawah. Ini dia petualangan yang sesungguhnya. Salah sedikit saja, mobil bisa terpeleset dan masuk ke kawah yang terlihat mendidih.
Saat mobil akan mulai mendaki, saya lebih mengencangkan sabuk pengaman. Tangan erat memegang pegangan di atas pintu. Kaki menjejak kencang ke bawah dashboard. Sesekali kulirik pengemudi yang tampak tersenyum melihat ketakutan yang terlihat di wajah saya.
Agar mobil bisa berjalan dengan tepat, seorang pemandu mengarahkan laju mobil. Pemandu ini mengarahkan laju mobil dengan melihat postur tanah dan posisi ban.
Setelah berkeliling di kawasan kawah Sikidang, kami ditantang untuk mencoba mengendarai sendiri kendaraan itu. Tak banyak yang menyanggupinya. Mereka dipandu oleh pengemudi untuk mengoperasikan mobil tersebut. Salah satu yang menerima tantangan itu adalah Robin Abdulrahman. “Rasanya campur aduk. Kuncinya, tidak boleh panik,” kata Robin setelah mengendarai salah satu jip.
Menurut Robin, butuh ketenangan agar laju mobil bisa stabil dan melaju mulus di jalan yang tak mulus itu. Meski awalnya takut, lama-kelamaan ia justru ketagihan. “Mungkin saya akan mencoba trek yang lebih menantang,” ujarnya.
ARIS ANDRIANTO